Semarang – Dalam kunjungan ke Centre for Plasma Research di Fakultas Sains dan Matematika (FSM) Universitas Diponegoro (Undip), Semarang pada hari Minggu, 28 Juli, anggota Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Tri Mumpuni mendorong para ahli nuklir untuk berkumpul dan berdiskusi mengenai potensi pengembangan energi nuklir di Indonesia.
“Apakah nanti mau membangun atau tidak, itu nanti jadi topik diskusi. Tapi harus kita diskusikan agar tidak tertinggal sebagai bangsa,” kata Tri.
Kolaborasi antara BRIN dan Undip ini diharapkan dapat membuka jalan bagi pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) fisi mikro di Indonesia, memberikan solusi energi yang lebih aman dan berkelanjutan untuk masa depan. Tri Mumpuni, menekankan pentingnya teknologi untuk masa depan Indonesia, terutama dalam konteks mencapai emisi nol karbon pada 2060.
Tri juga menekankan perlunya sikap realistis dalam menghadapi kebutuhan teknologi tersebut. Menurutnya, sudah saatnya nuklir dipertimbangkan kembali sebagai solusi yang layak. “Dulu nuklir dianggap tabu. Saya termasuk yang menentang rencana pembangunan PLTN Muria tahun 1991 karena melihat belum ada teknologi yang seaman sekarang,” katanya.
Namun, dengan perkembangan sumber daya manusia (SDM) yang ada saat ini, Tri yakin Indonesia memiliki banyak peneliti ahli di bidang nuklir. “Dari segi SDM, kita jauh lebih siap daripada dulu. 33 tahun lalu mungkin tidak sebanyak ini SDM yang kita punya. Sekarang sudah banyak yang sekolah di luar negeri dan punya ilmunya. Sayang sekali kalau ilmunya tidak dimanfaatkan,” lanjutnya.
Ketua Centre for Plasma Research FSM Undip, Muhammad Nur, menyambut baik ajakan penelitian oleh BRIN. Undip telah mendalami teknologi plasma, termasuk Plasma Tokamak untuk reaktor fusi nuklir.
“Kalau fusi (nuklir) berat, Indonesia belum sampai, dunia saja belum. Tapi kalau fisi sangat mungkin. Apalagi ada berita baru tentang fisi mikro, very small hanya (berkapasitas) 1-4 MegaWatt. Sangat kecil,” jelas Nur.
Nur menambahkan bahwa teknologi nuklir generasi keempat yang dikembangkan saat ini jauh lebih aman dibandingkan generasi sebelumnya, seperti proyek PLTN Chernobyl di Rusia dan Fukushima di Jepang.
“Generasi keempat itu saya tahu bahwa limbahnya usianya pendek, usia aktifnya, kemudian (ukurannya) kecil. Kalau biasanya 800 MW, sekarang 4 MW. 200 kali lebih kecil, kecil sekali, dan itu bisa ditempatkan di pulau-pulau yang jauh,” tandasnya.
“Belum ada wacana pembangunan (PLTN), tetapi ini sebuah diskursus baru yang selayaknya masyarakat Indonesia mulai ‘aware’ (sadar) bahwa kita perlu teknologi untuk bertahan,” ujar Tri dalam keterangan resmi. (Hartatik)