BRIN: Pengembangan energi nuklir di Indonesia masih lemah

Jakarta – Pengembangan nuklir nasional masih lemah lantaran pemerintah belum memiliki kebijakan yang pasti tentang pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), menurut ahli nuklir BRIN, Senin (24/10). Indonesia masih berada di tahap pertama untuk pengembangan pembangkit listrik tersebut.

“Kita belum ada keputusan dari pemerintah, apakah mau membangun PLTN atau tidak,” ujar Pengembang Teknologi Nuklir Ahli Utama BRIN, Suparman, dalam webinar Kesiapan Energi Terbarukan dan Nuklir dalam Mendukung Pencapaian Net Zero Emission. Menurut Suparman, ada beberapa tempat di Indonesia yang layak menjadi tempat pengembangan energi tersebut.

“Walau kita di ring of fire, ada beberapa tempat yang layak. Artinya memenuhi persyaratan Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir),” imbuhnya.

Wilayah-wilayah tersebut adalah Jepara, Banten, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Selain itu, sejumlah lokasi di Nusa Tenggara Barat (NTB) pun berpotensi sebagai lokasi pengembangan. “Di NTB, walaupun sering gempa, sebenarnya waktu kami survei ada beberapa tempat yang aman,” imbuhnya. Ia melanjutkan tapak nuklir dan sumber daya manusia Indonesia sejatinya sudah siap.

Terpisah, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menilai teknologi nuklir sebagai energi yang paling bersih. Nuklir juga bisa menghasilkan listrik per kwh yang lebih murah. Namun, Mamit menilai Indonesia masih belum siap memanfaatkan teknologi nuklir dalam waktu dekat.

Mamit mengatakan ada sejumlah hal mesti diperhatikan pemerintah jika hendak membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir. Pertama, faktor kesiapan transmisi dan distribusi milik PLN dalam menyerap listrik dari nuklir. “Karena jika sampai, misalnya jaringan PLN tidak siap seperti terjadi black out, maka bisa berbahaya bagi PLTN,” ujar Mamit.

Kedua, lanjut Mamit, adalah faktor keamanan. Maksudnya, perlu diperhatikan sejauh mana kesiapan pembangunan PLTN yang tetap aman dan tidak menimbulkan bencana. Lalu ketiga, faktor sumber daya manusia atau SDM. Teknologi nuklir yang sarat risiko, menurut Mamit, membutuhkan SDM yang benar-benar mumpuni dan menguasai teknologi tersebut.

Faktor keempat yang menurut Mamit tidak kalah penting, yakni soal penanggulangan limbah nuklir. Menurutnya, harus dipastikan bahwa limbah nuklir benar-benar tersimpan dengan aman dan kuat. Kemudian kelima, faktor geografis.

Mamit mengatakan pembangunan PLTN mesti dilakukan di daerah yang bebas dari gempa maupun gangguan alam yang berpotensi merusak PLN. Terakhir, soal sosialisasi dan penerimaan masyarakat. Karenanya, menurut Mamit, Indonesia bisa perlu belajar dari negara-negara yang sudah menggunakan teknologi nuklir, seperti Jepang, Rusia, atau AS. (Hartatik)

Foto banner: Markus Distelrath/pexels.com

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles