BMKG: Tidak ada anomali iklim signifikan di prediksi cuaca 2025

Jakarta – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memproyeksikan tidak ada anomali iklim signifikan sepanjang 2025, menyatakan kondisi iklim secara umum akan berada dalam kategori normal. Namun, BMKG tetap mengimbau agar berbagai pihak meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor pada musim hujan, serta kekeringan pada musim kemarau.

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan dalam laporan “Climate Outlook 2025” bahwa Indonesia akan mengalami kondisi iklim stabil, tanpa gangguan besar dari fenomena seperti El Niño atau La Niña yang diperkirakan berada dalam kondisi netral sepanjang tahun. “ENSO (El Niño-Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) akan stabil. Dengan begitu, sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami curah hujan tahunan dalam kategori normal dengan jumlah sekitar 1.000-5.000 mm,” ungkap Dwikorita dalam keterangan tertulis, Selasa, 5 November.

BMKG memperkirakan bahwa sekitar 67% wilayah Indonesia akan mendapatkan curah hujan lebih dari 2.500 mm per tahun. Wilayah dengan curah hujan tinggi meliputi sebagian besar Sumatera, sebagian besar Pulau Kalimantan, dan Papua. Namun, terdapat pula beberapa wilayah yang diprediksi mengalami curah hujan di bawah normal, termasuk sebagian kecil Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Papua Barat bagian utara.

“Wilayah yang mengalami hujan tahunan di bawah normal harus bersiap menghadapi potensi kekeringan, terutama di wilayah Nusa Tenggara Timur,” tambah Dwikorita.

Potensi bencana hidrometeorologi

BMKG juga memaparkan risiko bencana hidrometeorologi di daerah dengan curah hujan tinggi, terutama pada puncak musim hujan. Ardhasena Sopaheluwakan, Deputi Bidang Klimatologi BMKG, menjelaskan bahwa wilayah dengan potensi curah hujan di atas rata-rata harus memperhatikan potensi banjir dan tanah longsor.

“Sistem drainase, waduk, embung, dan tampungan air buatan harus dipastikan berfungsi optimal agar dapat mengantisipasi banjir dan kekurangan air pada musim kemarau,” ujar Ardhasena.

Untuk mengatasi risiko kekeringan, BMKG menyarankan pengelolaan sumber daya air yang baik di wilayah-wilayah dengan curah hujan rendah. Langkah ini meliputi peningkatan kapasitas penyerapan air serta pengelolaan sistem irigasi di wilayah produksi pangan yang terdampak.

BMKG juga memprediksi bahwa suhu rata-rata bulanan akan mengalami sedikit kenaikan antara +0,3 hingga +0,6°C pada periode Mei hingga Juli 2025. Kenaikan suhu ini, menurut Dwikorita, perlu diantisipasi karena dapat berdampak pada kesehatan dan produktivitas pertanian, khususnya di wilayah-wilayah seperti Sumatera Selatan, Jawa, NTB, dan NTT.

“Kondisi ini harus diperhatikan dalam pengelolaan kegiatan pertanian, terutama di wilayah sentra pangan,” kata Dwikorita.

Di sektor pertanian, BMKG mengusulkan antisipasi seperti penyesuaian pola tanam, pemilihan bibit tahan kekeringan, serta penggunaan teknologi irigasi.

“Intensifikasi irigasi bisa membantu wilayah dengan curah hujan di bawah rata-rata tetap menghasilkan tanaman pangan yang baik,” jelas Ardhasena.

Dwikorita mengimbau pemerintah daerah untuk proaktif dalam mengembangkan strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang lebih baik di wilayahnya masing-masing. “Meskipun cuaca diprediksi normal, pemerintah daerah tetap perlu memperhatikan kesiapan infrastruktur sumber daya air dan pengelolaan risiko bencana, terutama untuk wilayah yang rawan banjir atau kekeringan,” pungkas Dwikorita. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles