Aktivis: Blackout Bali momentum beralih ke pembangkit listrik terbarukan skala komunitas

Jakarta – Aktivis lingkungan dan akademisi melihat peristiwa padam listrik total yang melumpuhkan seluruh Bali minggu ini, sebagai momen reflektif. Peristiwa ini membuka kembali perdebatan penting: apakah ketergantungan pada energi fosil dan jaringan listrik terpusat masih layak dipertahankan di tengah krisis iklim dan ketidakpastian teknis?

Suriadi Darmoko, Field Organizer dari organisasi lingkungan 350.org Indonesia, pada Senin, 5 Mei, menilai blackout kali ini bukan sekadar gangguan teknis, melainkan konsekuensi dari ketergantungan berlebihan pada sistem pembangkit terpusat berbasis energi fosil.

“Sudah empat kali sistem kelistrikan Jawa–Bali mengalami kegagalan besar. Jika kita masih mengandalkan jaringan energi fosil dan pembangkit besar yang tersentralisasi, kejadian seperti ini akan terus berulang,” tegasnya.

Mulai pukul 16.00 WITA, pada Kamis, 2 Mei, Bali mengalami blackout total selama berjam-jam akibat gangguan kabel laut transmisi Jawa–Bali. Beberapa pembangkit listrik di sistem regional ikut terputus dari jaringan. PT PLN (Persero) mengonfirmasi bahwa gangguan tersebut bersumber dari permasalahan teknis sistem transmisi, yang menyebabkan pemutusan aliran secara menyeluruh.

“Penyebabnya berasal dari gangguan teknis di jaringan transmisi kami, yang berdampak pada sejumlah pembangkit dan menyebabkan pemadaman cukup luas,” ujar Adi Priyanto, Direktur Distribusi PLN, dalam keterangan resmi.

Potensi energi terbarukan Bali lebih dari cukup

Berdasarkan riset bersama antara Center for Community Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana dan Greenpeace Indonesia, Pulau Bali sejatinya memiliki peluang besar untuk bebas dari energi fosil. Riset tersebut menemukan potensi energi surya di Bali mencapai 113.436,5 GWh per tahun. Angka ini hampir 11 kali lipat dari proyeksi kebutuhan listrik Bali tahun 2027, yang diperkirakan sebesar 10.014 GWh per tahun.

“Potensi energi matahari di Bali sangat besar. Rata-rata penyinaran harian bisa mencapai 4,89 kWh/m²/hari. Ini jauh di atas standar kelayakan Eropa yang hanya 900 kWh/m² per tahun,” ungkap laporan riset tersebut

Beberapa daerah di Bali bahkan telah membuktikan bahwa pembangkit energi terbarukan skala komunitas bisa menjadi solusi nyata. Sebut saja PLTS Nusa Penida yang kini memenuhi sepertiga kebutuhan listrik lokal, dan PLTS Kayubihi di Bangli yang dikelola secara kolaboratif oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat.

“PLTS Kayubihi bisa dijadikan model kepemilikan dan pengelolaan pembangkit yang adil dan berkelanjutan. Kuncinya adalah kemauan politik dari pemerintah daerah untuk mengembangkan energi rakyat,” tambah Suriadi.

Momentum menuju kemandirian energi

Pascapadam total ini, desakan kepada Pemerintah Provinsi Bali untuk mengakselerasi transisi menuju energi terbarukan berbasis komunitas makin menguat. Konsep “Bali Mandiri Energi” yang telah digaungkan bertahun-tahun dinilai tak lagi bisa menunggu.

Model yang diusulkan bukan sekadar membangun PLTS atau PLTB besar, tapi juga membentuk sistem pembangkit energi desentralistik di tingkat desa adat, desa wisata, bahkan banjar. Sistem ini dinilai lebih tahan terhadap gangguan besar karena tidak tergantung pada satu sumber atau jaringan utama.

“Sistem terdesentralisasi bukan hanya memperkuat ketahanan energi masyarakat, tapi juga mendukung pembangunan rendah karbon dan memperkuat citra Bali sebagai destinasi wisata berwawasan lingkungan,” tegas Suriadi. (Hartatik)

Foto banner: Marcelo Chagas/pexels.com

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles