Akomodasi power wheeling, RUU EBET tetap perkuat posisi PLN dalam penyewaan jaringan

Jakarta – Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, mengatakan skema power wheeling yang diusulkan dalam RUU EBET dirancang untuk mempercepat pengembangan energi bersih tanpa merugikan PLN.

Pemerintah sedang mengkaji berbagai skema baru untuk mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan (EBET) melalui Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET). Salah satu poin penting dalam RUU ini adalah pengaturan skema power wheeling, yang memungkinkan pemanfaatan bersama jaringan transmisi listrik.

Meskipun skema ini dianggap kontroversial, pemerintah memastikan bahwa peran PT PLN (Persero) tetap diperkuat, terutama dalam konteks penyewaan jaringan transmisi.

“Kami memastikan skema ini tetap menjaga posisi PLN sebagai penyedia utama jaringan transmisi ketenagalistrikan negara,” kata Eniya dalam diskusi dengan media, Senin, 9 September.

Skema power wheeling dalam RUU EBET memperbolehkan pembangkit EBET menyewa jaringan PLN untuk menyalurkan listrik ke konsumen tertentu, seperti kawasan industri atau perusahaan yang membutuhkan energi bersih. Namun, Eniya menegaskan bahwa pembangkit listrik EBET dilarang menjual listrik secara langsung kepada konsumen rumah tangga di wilayah usaha (wilus) PLN.

“Penjualan langsung ke konsumen rumah tangga belum menjadi arah kebijakan kita saat ini,” ujar Eniya.

Lebih lanjut, skema ini memberikan kesempatan bagi pembangkit dengan status Izin Usaha Pembangkit Tenaga Listrik Umum (IUPTLU) dan Izin Usaha Pembangkit Tenaga Listrik Surya (IUPTLS) untuk menyewa jaringan PLN dalam menyalurkan energi terbarukan ke wilayah di luar area operasional PLN, selama mereka tetap menggunakan jaringan milik PLN. “Skema ini justru memperkuat posisi PLN karena pemanfaatan jaringan tetap di bawah kendali mereka,” tambahnya.

Meskipun pemerintah berupaya menjaga keseimbangan antara pengembangan energi bersih dan peran PLN, skema power wheeling telah menuai kritik, terutama dari serikat pekerja PLN. Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PLN, M Abrar Ali, menyatakan bahwa skema ini mengandung unsur liberalisasi pasar ketenagalistrikan yang bisa melemahkan kontrol negara atas sektor strategis ini. “Kami khawatir power wheeling membuka jalan bagi liberalisasi ketenagalistrikan yang bertentangan dengan konstitusi, karena memungkinkan pihak swasta menjual listrik secara bebas di pasar terbuka,” ujarnya.

Konsep power wheeling memungkinkan dua jenis transaksi, yaitu wholesale wheeling dan retail wheeling. Dalam wholesale wheeling, pembangkit listrik menjual listrik dalam jumlah besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar wilayah operasionalnya, sementara retail wheeling memungkinkan pembangkit menjual listrik langsung ke konsumen akhir. Kedua transaksi ini menggunakan jaringan transmisi dengan membayar biaya sewa atau toll fee.

Ali menambahkan, skema ini berakar pada konsep unbundling, yang pernah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan konsep ini melalui putusan pada tahun 2015, karena dianggap bertentangan dengan peran negara sebagai pengontrol sektor kelistrikan.

“Kembalinya skema power wheeling dalam RUU EBET berpotensi melanggar putusan MK dan mengurangi peran negara dalam sektor ini,” lanjut Ali.

Meski ada kekhawatiran, pemerintah optimistis bahwa skema power wheeling yang diusulkan tidak akan melemahkan posisi PLN. Eniya menekankan bahwa skema ini bertujuan untuk menciptakan efisiensi dalam pemanfaatan jaringan transmisi yang ada.

“Kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk PLN, tetap menjadi prioritas dalam memastikan transisi energi berjalan sesuai rencana tanpa mengorbankan kepentingan nasional,” ujar Eniya.

Pemerintah juga berharap skema ini dapat membantu mencapai target pengembangan energi terbarukan sebesar 23% dalam bauran energi nasional pada tahun 2025. Dengan semakin terbatasnya kapasitas PLN dalam mengembangkan jaringan, penyewaan jaringan transmisi melalui power wheeling dianggap sebagai solusi praktis untuk mempercepat pertumbuhan energi terbarukan.

RUU EBET saat ini masih dalam tahap pembahasan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemerintah berharap aturan ini segera disahkan agar bisa menjadi payung hukum bagi pengembangan energi terbarukan dan mempercepat transisi energi menuju ekonomi rendah karbon. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles