Jakarta — Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot menekankan urgensi reformasi pendidikan vokasi agar mampu menjawab tantangan hilirisasi dan pertumbuhan industri hijau. Tanpa SDM yang relevan dengan kebutuhan industri, potensi ekonomi dari hilirisasi dikhawatirkan tidak akan maksimal.
Pesan itu disampaikan Yuliot saat membuka Indonesia’s Green Jobs Conference 2025, Selasa, 29 April. Ia menggarisbawahi bahwa keberhasilan program hilirisasi nasional sangat ditentukan oleh kesiapan tenaga kerja, khususnya dari lulusan pendidikan vokasi yang menguasai teknologi dan prinsip industri ramah lingkungan.
“Pendidikan vokasi harus menyesuaikan diri. Kurikulum, pelatih, dan infrastrukturnya harus selaras dengan kebutuhan sektor industri hijau. Kalau tidak, kita akan terus kesulitan mencetak tenaga kerja yang siap pakai,” ujar Yuliot dalam keterangan tertulis.
Kesenjangan kompetensi dan tantangan hilirisasi
Menurut Yuliot, saat ini masih terdapat kesenjangan nyata antara kemampuan lulusan pendidikan vokasi dan tuntutan kerja di lapangan, terutama di sektor teknik dan teknologi bersih yang dibutuhkan dalam industri hilirisasi sumber daya alam dan energi terbarukan.
“Ada gap antara lulusan dengan ekspektasi pasar kerja. Kita tidak bisa lagi membiarkan hal ini berlangsung, karena hilirisasi butuh SDM yang tepat dan tangguh,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas pengajar dan pelatih vokasi, serta pembangunan database terintegrasi untuk merancang pelatihan dan rekrutmen tenaga kerja yang tepat sasaran.
“Pelatih vokasi juga harus upgrade pengetahuannya, karena teknologi industri terus berubah cepat. Ini butuh kolaborasi dengan industri untuk memperbarui standar dan kurikulum,” tambahnya.
Hilirisasi nasional butuh tenaga terampil
Hilirisasi menjadi prioritas utama pemerintah dengan disusunnya Peta Jalan Hilirisasi Investasi Strategis yang mencakup 28 komoditas dan proyeksi total investasi mencapai USD 618 miliar hingga 2040. Sebanyak 91 persen investasi ini akan mengalir ke sektor ESDM — mulai dari minerba, migas, hingga energi terbarukan.
Potensi ekonominya pun signifikan: penambahan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar USD 235,9 miliar, nilai ekspor mencapai USD 857,9 miliar, dan terciptanya lebih dari 3 juta lapangan kerja baru.
“Hilirisasi ini bukan hanya soal investasi. Tanpa SDM vokasi yang kompeten, dampaknya tidak akan maksimal. Ini fondasi yang harus diperkuat,” kata Yuliot.
Sejalan dengan hilirisasi, pemerintah juga terus mendorong transisi energi melalui sejumlah langkah strategis, seperti pensiun dini PLTU beremisi tinggi, pengembangan energi terbarukan seperti B40 (biodiesel 40%), implementasi circular economy untuk konversi sampah menjadi listrik.
Di sektor hilir migas, pembangunan smelter minerba dan proyek peningkatan kapasitas kilang dalam kerangka Refinery Development Master Plan (RDMP) akan membuka peluang kerja besar, asalkan tersedia tenaga kerja yang sesuai.
Indonesia’s Green Jobs Conference 2025, yang diinisiasi oleh Kementerian PPN/Bappenas, menjadi ruang dialog strategis antara pemerintah, industri, dan dunia pendidikan dalam menyusun arah kebijakan lapangan kerja hijau (green jobs).
“Transformasi industri tidak akan berhasil tanpa transformasi SDM. Pendidikan vokasi harus jadi garda depan,” tutup Yuliot. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2025)