Jakarta – Total penurunan emisi CO2 Indonesia pada 2020 mencapai 366.218.306,91 ton CO2e, menurut KLHK Selasa (19/7). Namun, pencapaian tersebut tidak dapat diklaim dalam kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) Indonesia karena metode penghitungan emisi belum diterima oleh The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ir. Sigit Reliantoro, MSc., mengatakan kepada media dalam briefing yang diselenggarakan oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), bahwa salah satu kunci pencapaian net sink Kehutanan dan Tata Guna Lahan Lain (FoLU) mencegah kerusakan ekosistem gambut.
Net sink FoLU 2030 merupakan bagian dari strategi Indonesia untuk menjaga suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius dan mencapai tujuan Perjanjian Paris.
“Emisi terbesar di Indonesia berasal dari kebakaran hutan, jadi kunci utama (mencapai net sink FoLU) adalah dengan mencegah kebakaran di ekosistem hutan dan gambut. Upaya penurunan emisi CO2 ini harus bisa kita klaim sebagai pengurangan emisi karbon sebagai manfaat ekonomi,” kata Sigit.
Ia mengatakan metodologi yang digunakan untuk menghitung penurunan emisi belum diakui oleh IPCC. “Di IPCC, ada metodologi untuk menghitung CO2 dari pembasahan untuk ekosistem gambut beriklim sedang. (Dengan metodologi itu) dapat dihitung emisi CO2 dan metana. Metode yang sama tidak digunakan di daerah tropis, sebaliknya metode yang mereka gunakan adalah dengan mengukur muka air tanah dan penurunan muka tanah, yang sangat rumit untuk diukur,” katanya.
Sigit juga menyebutkan adanya kendala anggaran yang menghambat pendanaan yang cukup untuk mengembangkan metode pengukuran penurunan emisi.
Total penurunan emisi yang dilaporkan pada tahun 2020 mencakup sekitar 3,6 juta ha areal konsesi dan 46.192,7 ha lahan masyarakat, termasuk restorasi gambut di bekas kawasan mega proyek padi di Kalimantan Tengah. Mega proyek padi merupakan proyek pengembangan lahan gambut besar-besaran untuk pertanian dan pemukiman seluas 1,4 juta hektar. Proyek ini dihentikan pada tahun 1998 tidak lama setelah diluncurkan, tetapi akibatnya sebagian besar lahan gambut di Kalimantan Tengah rusak. (nsh)