Jakarta – Keinginan sebagian pelaku industri di Indonesia untuk mengimpor sendiri gas alam cair (Liquefied Natural Gas atau LNG) demi mendapatkan harga yang lebih murah dinilai sebagai langkah yang belum tentu menguntungkan. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menegaskan bahwa harga LNG murah di pasar internasional sering kali menipu, karena tidak memperhitungkan berbagai biaya tambahan yang signifikan.
“Kalau merasa harga LNG impor lebih murah, silakan coba impor sendiri. Nanti akan terlihat bagaimana biaya tambahan seperti transportasi, regasifikasi, dan risiko fluktuasi harga membuatnya jauh dari kata murah,” ujar Komaidi dalam keterangan resmi, Selasa, 7 Januari.
Menurut Komaidi, harga LNG internasional yang menarik perhatian, seperti LNG dari Amerika Serikat (AS), memang terlihat rendah, namun ada sejumlah biaya tambahan yang tidak dapat dihindari. Komponen biaya ini mencakup transportasi lintas benua, proses regasifikasi, serta kewajiban kontrak seperti take or pay.
“Harga LNG di AS bisa saja hanya USD 3 per MMBTU (metric million British thermal unit), tetapi setelah ditambah biaya pengiriman dan regasifikasi, angka itu melonjak menjadi sekitar USD 6 hingga USD 7 per MMBTU. Belum lagi risiko lain seperti fluktuasi harga minyak dunia yang memengaruhi indeks harga LNG,” tambahnya.
Ia menjelaskan bahwa proses regasifikasi memiliki empat tahapan yang memakan biaya besar, terutama jika gas harus dikirim ke wilayah tanpa infrastruktur pipa. Kondisi ini membuat harga LNG impor sering kali lebih mahal dibandingkan gas pipa domestik, yang saat ini berada pada kisaran USD 10 hingga USD 11 per MMBTU di luar program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Industri harus cermat
Langkah untuk mengimpor LNG sendiri, menurut Komaidi, sebaiknya dipertimbangkan dengan matang oleh pelaku industri. PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) saat ini sudah berperan sebagai penyangga dengan menanggung risiko infrastruktur dan investasi untuk memenuhi kebutuhan energi industri, terutama ketika pasokan gas pipa domestik terbatas akibat penurunan alami di sumur-sumur tua seperti Blok Corridor.
“PGN mengambil peran penting sebagai buffer untuk industri. Mereka menyediakan solusi dengan regasifikasi LNG agar kebutuhan energi tetap terpenuhi, sekaligus menekan risiko yang bisa dialami jika industri langsung melakukan impor sendiri,” jelasnya.
Menanggapi tudingan bahwa harga gas domestik tidak transparan, Komaidi membantah keras. Menurutnya, penetapan harga sudah berdasarkan standar internasional. “Harga gas di Indonesia itu transparan. Jika ingin lebih murah, solusinya hanya subsidi dari pemerintah,” tegasnya.
Di pasar global, harga LNG juga menunjukkan volatilitas. Gas alam cair dari AS untuk pengiriman Januari 2025 tercatat naik dari USD 3,3 menjadi USD 3,8 per MMBTU. Di Eropa, harga gas TTF (atau Title Transfer Facility, tempat perdagangan virtual gas alam di Belanda) pada periode yang sama meningkat dari USD 12,7 menjadi USD 13,4 per MMBTU.
Komaidi menegaskan bahwa pelaku industri harus memahami kompleksitas ini sebelum mengambil keputusan untuk mengimpor LNG secara mandiri. “Memang terlihat menggiurkan di awal, tetapi jika tidak dihitung secara cermat, langkah ini justru bisa menjadi bumerang bagi industri,” pungkasnya. (Hartatik)