oleh: Richaldo Hariandja
Restorasi dan pencegahan rusaknya ekosistem gambut dan mangrove merupakan dua langkah penting bagi Indonesia untuk mencapai komitmennya untuk mengurangi emisi gas rumahkaca (GRK) sesuai dengan Kesepakatan Paris atau Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (Nationally Determined Contributions, NDC). Meskipun demikian, masih banyak kendala yang perlu dibenahi oleh pemerintah untuk memastikan perhitungan karbon dua ekosistem ini masuk dalam NDC.
Di ekosistem mangrove misalnya, kontribusi ekosistem pesisir ini terhadap upaya mitigasi perubahan iklim sangat tinggi. Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sekarang dilebur dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada tahun 2018 menyebut cadangan karbon mangrove mencapai 891,70 ton C/ha dengan total cadangan karbon mangrove nasional mencapai 2,89 Tt C.
Melimpahnya stok karbon di ekosistem mangrove ini bisa jadi daya tarik dalam mekanisme pasar karbon. Apalagi, artikel 6 Paris Agreement yang mengatur mekanisme ini mendapat persetujuan dalam COP26 di Glasgow tahun lalu.
Untuk memastikan stok karbon pada mangrove masuk dalam NDC, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menyebut perlunya payung hukum yang jelas untuk mengatur perusahaan-perusahaan yang mau membantu rehabilitasi ekosistem pesisir ini. Pasalnya, BRGM memprediksi adanya bantuan dengan tujuan lain yaitu untuk menjual karbon yang terkonservasi.
“Hal seperti itu perlu kita lihat di peraturan, apakah memungkinkan atau tidak,” ucap Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM Satyawan Pudyatmoko dalam media briefing bertajuk Strategi Restorasi Gambut dan Percepatan Rehabilitasi Mangrove Tahun 2022 di Jakarta, Selasa (19/07).
Akan tetapi, lanjut dia, yang terpenting adalah memenuhi NDC terlebih dahulu dengan mekanisme lain sebelum menerapkan mekanisme perdagangan karbon. Hal ini bertujuan untuk tidak mengacaukan komitmen internasional Indonesia.
“Jangan sampai ada tumpang tindih dan klaim karbon karena peraturan yang tidak kuat,” kata Satyawan.
Tahun lalu Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon yang dipersiapkan untuk mendukung pencapaian target pengurangan emisi GRK di Indonesia sebagaimana tercantum dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) untuk pengendalian perubahan iklim. Perpres ini juga mengatur tentang pasar karbon.
Pintu untuk keterlibatan perusahaan dalam merehabilitasi mangrove memang dibuka oleh BRGM. Hal ini untuk mempercepat target rehabilitasi 600 ribu hektare kawasan mangrove yang diemban mereka hingga 2024 yang tidak mungkin bisa dilakukan jika mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terbatas.
Selain dari perusahaan, Satyawan menyebut keran pendanaan untuk rehabilitasi gambut juga rencananya akan berasal dari dana bantuan luar negeri, alokasi dana rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) dari izin pinjam pakai kawasan hutan hingga dana Corporate Social Responsibility.
Untuk pendanaan luar negeri, Kementerian Koordinasi bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marinves) menjadi pihak yang dipercaya untuk mencarikan. Sejauh ini, beberapa negara dan badan dunia disebut sudah dan akan menjalani kerjasama dengan Indonesia untuk rehabilitasi mangrove.
Di antaranya adalah Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Singapura, hingga World Bank. Menurut rencana, Pemerintah pun akan menyuarakan isu mangrove dan pendanaannya di ajang G20.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian I bidang Investasi, Energi dan Infrastruktur Kantor Staf Presiden (KSP) Trijoko Mohamad Soleh dalam acara yang sama menyebut akan menanyakan komitmen global dalam ajang tersebut. “Akan ditanya, benar atau tidak dan sampai sejauh mana (komitmen negara maju). Karena ini urusan satu bumi. Begitu berkontribusi, maka akan berkontribusi secara global,” terang dia.
Selain pendanaan, dia juga menyebut koordinasi sebagai tantangan dalam pengelolaan mangrove. Pasalnya, kerap terjadi tumpang tindih kebijakan karena terlalu banyak yang berwenang di dalamnya.
Yang terbaru, adalah kebijakan revitalisasi tambak yang ditangani oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dinilai bertentangan dengan semangat rehabilitasi mangrove. “Itu karena mangrove dikelola oleh banyak institusi. Menurut kajian World Bank, ada 20 institusi di Indonesia yang mengelola mangrove,” kata Satyawan.
Sementara itu, Deputi Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan Kemenko Marinves Kus Prisetiahadi menyebut kondisi ini sebagai sebuah tantangan. Dia menyebut harus ada bagi-bagi tugas yang dapat membuat semua instansi bersinergi.
Berdasarkan tugas pokok dan fungsi, kata dia, pengelolaan mangrove yang berada di dalam kawasan hutan merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sementara KKP, Pemerintah Daerah dan BRGM memiliki kewenangan untuk mangrove di luar kawasan hutan.
“Pergesekan terjadi banyak di luar kawasan hutan, apalagi ada institusi dari KLHK juga yang mengurusi kawasan hutan. Kita harus bersinergi agar kekusutan ini jadi kekuatan kita,” terang Kus.
Gandeng ilmuwan
Masalah lain terkait pengelolaan karbon juga ditemui di ekosistem gambut. Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro dalam media briefing tersebut menyoroti tantangan untuk metodologi penghitungan karbon di ekosistem gambut yang dilakukan pemerintah saat ini bisa diterima Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).
Selama ini, kata dia, IPCC tidak menerapkan metode yang sama dalam menghitung CO2 dari upaya rewetting hidrologis ekosistem lahan basah di subtropis dengan upaya pembasahan lahan gambut di iklim tropis. Menurutnya, pendekatan IPCC ini kurang adil.
Secara teknis, untuk iklim tropis IPCC disebut Sigit, pengukurannya menggunakan penurunan muka air tanah yang jauh lebih rumit. Sehingga menurutnya, KLHK sedang jajaki kerjasama dengan beberapa ilmuwan dari Jerman, Belanda dan dari Australia untuk menemukan cara perhitungan yang lebih sesuai untuk wilayah tropis.
Lewat kerjasama dengan ilmuwan ini, pemerintah berniat hendak menerbitkan banyak artikel jurnal ilmiah terkait perhitungan-perhitungan yang dilakukan. Sehingga memudahkan verifikasi yang kelak dilakukan IPCC.
Sebenarnya, lanjut Sigit, data pengukuran penyimpanan karbon dari aksi restorasi gambut sudah banyak dimiliki oleh Pemerintah. Pada tahun 2020 saja Sigit menyebut sudah berhasil mereduksi emisi hingga 366.21.306,91 ton CO2 ekivalen.
Angka itu didapat dari reduksi emisi di 3.643.799,26 hektare lahan konsesi sebesar 364.754.799,41 ton CO2 ekivalen serta dari 46.192,7 hektare lahan masyarakat yang total emisi sebesar 1.463.507,50 CO2 ekivalen.