Subsidi energi untuk PLN dan Pertamina diproyeksi bengkak jadi 1,5% PDB

Jakarta – Tahun ini subsidi energi yang dikucurkan pemerintah untuk Pertamina dan PLN diproyeksikan bisa membengkak hingga 1,5 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Jumlah tersebut lebih besar dari besaran subsidi energi yang diterima dua BUMN tersebut pada tahun lalu sebesar 0,7 persen dari PDB.

“Subsidi energi dan listrik banyak dinikmati oleh masyarakat golongan atas. Padahal seharusnya, subsidi ini dinikmati oleh masyarakat kecil,” tulis Bank Dunia dalam laporan terbarunya ‘Indonesia Economic Prospects (IEP), June 2022: Financial Deepening for Stronger Growth and Sustainable Recovery’, Jumat (24/6).

Berdasarkan laporan, rumah tangga kalangan menengah atas mengonsumsi antara 42 – 73 persen solar bersubsidi dan 5-29 persen LPG bersubsidi. Subsidi ini sebagian besar menguntungkan rumah tangga kalangan menengah dan atas. Jika kedua subsidi ini dihilangkan, maka bisa menghemat 1 persen dari PDB pada harga tahun 2022.

“Subsidi itu bisa diganti dengan bantuan sosial yang lebih memiliki target untuk masyarakat miskin, rentan, dan kalangan calon kelas menengah dengan biaya lebih murah, yakni 0,5 persen dari PDB. Dengan demikian, pemerintah mendapat penghematan tambahan fiskal bersih sebesar 0,6 persen dari PDB,” ungkap Bank Dunia.

Lebih lanjut, Bank Dunia juga memproyeksikan subsidi energi eksplisit meningkat dari 0,8 persen menjadi 1,1 persen dari PDB pada tahun 2021 hingga tahun 2022. Sedangkan subsidi implisit yang dibayarkan kepada PLN dan Pertamina sebagai kompensasi atas penjualan listrik dan bahan bakar minyak di bawah harga pasar, diproyeksi meningkat dari 0,7 persen menjadi 1,5 persen.

Adapun subsidi dan kompensasi yang diberi pemerintah dihitung berdasarkan selisih antara harga jual eceran (HJE) dengan harga keekonomian. HJE Pertalite yang berlaku saat ini sebesar Rp 7.650 per liter, sementara harga keekonomian Rp 12.556 per liter dengan asumsi harga minyak mentah di kisaran 100 dollar AS per barrel.

“Subsidi energi dapat menahan inflasi karena adanya dorongan biaya (cost-push inflation) dalam jangka pendek mengingat harga komoditas tetap stabil, kebijakan subsidi ini tidak akan berkelanjutan secara jangka panjang,” sebut Bank Dunia.

Dengan demikian, harus ada alasan yang kuat mengenai perlunya rencana keluar dari subsidi energi tinggi melalui transmisi harga secara bertahap dan beralih ke subsidi yang ditargetkan untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan.

Kenaikan harga energi picu tarif listrik rumah tangga golongan kaya naik

Mulai 1 Juli mendatang, pemerintah resmi menaikkan tariff listrik untuk golongan kaya seperti R2 dan R3 atau golongan 3.500 VA ke atas, menurut Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana dalam keterangan tertulis Selasa (14/6).

Adapun kenaikan tarifnya menjadi Rp 1.699 per Kwh atau naik 17,64% dari sebelumnya Rp 1.444,70 per Kwh. Dikatakan Rida, kenaikan tarif listrik dilakukan setelah mengukur perkembangan empat indikator asumsi makro untuk tarif listrik nasional.

Keempat indikator ini adalah kurs rupiah yang saat ini bertengger di level Rp14.356/USD (asumsi semula Rp 14.350/USD), harga patokan minyak mentah Indonesia (ICP) di 104 USD/barrel (asumsi semula 63 USD/barrel), inflasi di 53% (asumsi semula 0,25%), dan harga batubara acuan >70 USD/ton).

Adapun realisasi indikator ekonomi makro tersebut diambil dalam rentang waktu tiga bulan (Februari sampai dengan April 2022) yang kemudian digunakan dalam penerapan tarif adjustment triwulan III tahun 2022.

Menurutnya, penyesuaian atau kenaikkan tarif listrik golongan tersebut bisa dinaikkan lantaran sudah ada aturan mengenai ketentuan tarif adjusment sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM No 28/2018. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles