oleh : Firdaus Cahyadi*
Di Konferensi Tingkat Tinggo (KTT) G20 di Brazil baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa Indonesia akan mempercepat penghentian semua PLTU batubara. Menurutnya, Indonesia akan menghentikan semua pembangkit listrik berbahan bakar batubara dan fosil dalam 15 tahun ke depan. Artinya, ini lebih cepat dari target sebelumnya yaitu tahun 2056. Apakah pernyataan ini menandakan Pemerintah Indonesia akan lebih serius memulai transisi energi atau justru menjadi pintu masuk bagi munculnya solusi palsu yang mengatasnamakan energi hijau?
Pernyataan Prabowo Subianto yang akan mempercepat pensiun PLTU batubara di Indonesia itu perlu disikapi secara kritis, terlebih bila melihat rekam jejaknya yang memiliki kedekatan dengan industri batubara. Bukan tidak mungkin penutupan semua PLTU batubara yang diungkapkannya di KTT G20 justu untuk memperkenalkan solusi palsu transisi energi.
Ada beberapa pertanyaan kunci untuk mengkritisi pernyataan Prabowo Subianto yang akan mempercepat target penutupan PLTU batubara di Indonesia. Pertama, apakah seiring dengan PLTU batubara ditutup, Pemerintah Indonesia dengan sendirinya akan menghentikan operasional tambang batubara dan juga penggunaan dari produk-produk turunanya?
Untuk menjawabnya, kita harus kembali membaca pidato Prabowo Subianto saat pelantikannya menjadi Presiden Indonesia ke-8, nampaknya operasional tambang batubara dan penggunaan produk-produk dari energi kotor itu terus berlanjut. Di pidato pelantikannya, Prabowo Subianto memberikan arah kebijakan energi dalam lima tahun kedepan yang akan fokus pada swasembada energi. Celakanya, swasembada energi dari Prabowo Subianto masih bertumpu pada batubara.
Bukan hanya itu, Presiden Prabowo Subianto juga tidak membatalkan pemberian konsesi tambang batubara untuk ormas keagamaan. Sebagaimana diketahui, di akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Menteri ESDM justru membagikan konsesi tambang batubara ke ormas agama seperti NU dan Muhammadiyah. Tidak dibatalkannya pemberian konsesi tambang batubara oleh Presiden Prabowo Subianto memberikan sinyal bahwa batubara masih tetap akan menjadi andalan pemerintahannya untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Meskipun pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh batubara adalah pertumbuhan ekonomi semu, karena dampak lingkungan hidup dan kesehatan bagi masyarakat tidak pernah diperhitungkan.
Sinyal bahwa pemerintahan Prabowo Subianto akan terus mengandalkan batubara juga terlihat pada pernyataannya di berbagai kesempatan. Prabowo Subianto pernah mengatakan bahwa saat ini banyak cadangan batubara baru yang ditemukan di Indonesia. Bahkan menurutnya, ladang bekas Belanda juga bisa dimanfaatkan lagi dengan teknologi terkini. Menurutnya, batubara bisa diubah menjadi DME (dimethyl ether). Padahal bila penutupan PLTU batubara tidak diikuti dengan menghentikan penambangan dan penggunaan batubara, maka itu hanya sekedar solusi palsu transisi energi yang menyesatkan.
Arah kebijakan energi di era pemerintahan Prabowo Subianto, jika merujuk pada pidatonya, sebenarnya tidak hanya akan melanjutkan penggunaan batubara dalam bentuk lain, namun juga akan memperpanjang penggunaan energi fosil lainnya (minyak dan gas bumi/migas). Untuk mengatasi emisi GRK yang ditimbulkan di sektor migas, Prabowo Subianto, akan melanjutkan progam Presiden Jokowi tentang ‘toilet’ karbon di Indonesia. Progam ‘toilet’ karbon di Indonesia itu bernama CCS (carbon capture and storage).
CCS ini adalah bagian dari solusi palsu transisi energi. Bagaimana tidak, teknologi CCS juga menghasilkan emisinya sendiri, yang sering tidak diperhitungkan. Emisi GRK dalam teknologi CCS muncul saat proses penangkapan dan transportasi. Kebocoran dari emisi GRK selama proses CCS ini berlangsung bisa saja sama atau lebih besar daripada emisi GRK yang dapat disimpan. Akibatnya, penggunaan teknologi CCS ini akan menghalangi pengembangan energi terbarukan.
Kedua, pembangkit energi terbarukan seperti apa nantinya yang akan menggantikan PLTU batubara? Untuk menjawab pertanyaan ini, lagi-lagi kita harus menelisik isi pidato Prabowo Subianto terkait gagasan swasembada energi. Selain masih bertumpu pada batubara, swasembada energi ala Prabowo juga akan bertumpu pada energi terbarukan skala besar seperti geothermal (panas bumi) dan biofuel.
Pengembangan geothermal untuk menopang kelistrikan di Indonesia nampaknya akan menjadi pilihan kebijakan energi dalam lima tahun kedepan. Pilihan itu semakin dipertegas dengan upaya pemerintah untuk menawarkan proyek geothermal itu di berbagai forum internasional. Di ajang COP 29 misalnya, Kementerian ESDM menawarkan sekitar 12 proyek geothermal.
Padahal proyek geothermal ini hampir selalu mendapatkan perlawanan dari masyarakat sekitar. Di Waesano, Nusa Tenggara Timur (NTT), masyarakat lokal dengan keras menolak proyek geothermal. Bank Dunia sebagai pihak yang mendanai proyek geothermal di Waesano akhirnya mengundurkan diri karena kerasnya penolakan masyarakat lokal.
Masih di NTT, proyek geothermal di Pocoleok, yang didanai oleh Bank Pembangunan Jerman (Kreditanstalt für Wiederaufbau/KfW) juga mendapat perlawanan dari masyarakat sekitar. Sebagian masyarakat yang melakukan perlawanan mendapat intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan dari aparat pemerintah. Bahkan jurnalis lokal pun juga sempat mengalami kekerasan.
Jika pilihannya adalah energi terbarukan skala besar seperti geothermal untuk menggantikan PLTU batubara yang ditutup, itu artinya upaya untuk mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) melalui transisi energi justru melemahkan kapasitas masyarakat lokal untuk beradaptasi terhadap krisis iklim. Padahal, dalam konteks keadilan iklim, kebijakan mitigasi emisi GRK tidak boleh justru melemahkan kapasitas masyarakat untuk beradaptasi terhadap krisis iklim.
Dengan membandingkan pidato Prabowo Subianto di KTT G20 dan di Indonesia saat pelantikannya menjadi Presiden Indonesia ke-8, secara jelas kita akan menemukan bahwa rencananya untuk mempercepat penutupan PLTU batubara adalah bagian dari cara untuk memperkenalkan solusi palsu transisi energi. Sepertinya umumnya sebuah sebuah solusi palsu, tujuannya bukan untuk memberikan solusi atas sebuah persoalan namun justru mengelabuhi khalayak agar seolah-olah persoalan itu sudah dapat diselesaikan.
Solusi palsu transisi energi ini juga merupakan bagian dari diplomasi iklim Indoensia di tingkat global. Dengan solusi palsu transisi energi ini, audience internasional digiring untuk mendukung pilihan solusi palsu transisi energi yang ditempuh Pemerintah Indonesia. Lantas, kenapa solusi palsu transisi energi ini sengaja dimunculkan Prabowo Subianto di KTT G20?
Penggunaan solusi palsu transisi energi dalam diplomasi iklim ini bukan hanya dilakukan Pemerintah Indonesia. Negara-negara kaya yang tergabung dalam G20 juga sering menggunakan solusi palsu transisi energi ini dalam diplomasi iklimnya. Semua negara, termasuk Indonesia, yang menggunakan solusi palsu transisi energi ini sejatinya mengetahui bahwa itu tidak akan menyelesaikan krisis iklim. Mereka menggunakan diplomasi solusi palsu transisi energi itu untuk kepentingan ekonominya. Prinsip dasarnya, upaya mengatasi krisis iklim tidak boleh menganggu pertumbuhan ekonomi negara.
Paradigma terus mengejar pertumbuhan ekonomi ini adalah paradigma yang dulunya menyebabkan krisis iklim. Ironis, bila upaya mengatasi krisis iklim menggunakan paradigma yang sama. Solusi palsu transisi energi adalah upaya mengemas ulang paradigma usang itu. Celakanya, Indonesia sebagai negara yang rentan terdampak krisis iklim, kini justru mengikuti jalan sesat negara-negara maju dengan menggunakan solusi palsu transisi energi itu.
Penggunaan solusi palsu transisi energi dalam diplomasi iklim ini, tentu harus dihentikan. Indonesia, sebagai negara yang memiliki kerentanan tinggi terhadap krisis iklim seharusnya ikut menjadi bagian untuk menghentikan solusi palsu transisi energi dalam diplomasi iklim ini, bukan justru ikut-ikutan menggunakannya.
*Penulis adalah memerhati kebijakan energi dan perubahan iklim
Foto banner: Indonesia Digital Campaigner 350.org