Siapkah Indonesia Menerapkan Pajak Karbon?

oleh: Dani Kosasih

Sejatinya, setelah resmi menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) DPR pada 7 Oktober 2021, pemerintah akan melanjutkannya dengan melakukan penerapan pajak karbon pada 1 April 2022. Namun ternyata, pemerintah menunda penerapan pajak karbon tersebut hingga Juli 2022. Melalui keterangan resminya, Kementerian Keuangan mengaku masih harus menyusun berbagai aturan teknis pelaksanaan pajak karbon ini.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan dalam keterangan resminya, saat ini, pemerintah masih dalam fase persiapan menyusun tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, pelaporan, serta peta jalan pajak karbon.

Sementara, terkait aturan Batas Atas Emisi untuk subsektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan tata cara penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon pada pembangkit tenaga listrik, akan ditetapkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Menurut Febrio, dari penerapan pajak karbon, pemerintah tidak hanya mendapatkan tambahan penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), namun, penerapan pajak karbon juga akan menjadi instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai prinsip “pencemarlah yang membayar” (polluters pay principle).

Implementasi pajak karbon pun tidak hanya mengacu pada UU HPP. Instrumen pajak ini juga berkaitan dengan Peraturan Presiden (Perpres) 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional, serta Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dalam Pembangunan Nasional. Perpres tersebut mengatur tentang nilai ekonomi karbon, yang salah satu instrumennya berkaitan dengan implementasi pajak karbon.

Mekanisme pajak karbon

Mekanisme pajak yang dikenakan akan menggunakan skema cap-and-trade atau skema pembatasan emisi karbon dan perdagangan sertifikat izin emisi serta skema batas emisi (cap-and-tax). Skema cap-and-trade adalah skema yang berlaku bagi entitas yang mengeluarkan emisi lebih tinggi dari cap atau batasan emisi yang ditentukan, maka diharuskan membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE) dari entitas yang mengeluarkan emisi di bawah cap atau membeli Sertifikat Penurunan Emisi (SPE/carbon offset).

Sedangkan skema cap-and-tax adalah skema pembatasan emisi dan pengenaan pajak jika emisi yang dikeluarkan melebihi batasan yang ditentukan. Artinya, bila badan atau entitas tersebut tidak dapat membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE) atau Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) atas emisi di atas batasan (cap) seluruhnya, maka sisa emisi yang masih melebihi batasan (cap) tersebut akan dikenakan pajak karbon.

Pada pelaksanaan tahap awal (2022 – 2024), besaran tarif pajak karbon telah ditetapkan Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Badan PLTU batubara menjadi sektor yang terkena uji coba perdana. Bila mengacu pada Pasal 13 Ayat (5) UU HPP, PLN berpotensi akan menanggung pajak karbon dari dua jalur yaitu, sebagai pembeli barang yang mengandung karbon (batubara) dan melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Selanjutnya, pada 2025, pajak karbon akan mulai diberlakukan sepenuhnya beserta dengan perluasan sektor yang terkena pemajakan pajak karbon, yang tentunya akan dilakukan bertahap sesuai kesiapan sektor terkait, termasuk pengenaan pajak karbon pada orang pribadi. Penerapan pajak karbon pada orang pribadi yang kemungkinan akan terealisasi melalui kenaikan harga BBM.

Terlalu terburu-buru

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, beranggapan bahwa penundaan penerapan pajak karbon merupakan imbas dari terburu-burunya pemerintah dalam memutuskan besaran tarif, hingga akhirnya, tarif yang diberlakukan pun sangat jauh berada di bawah besaran tarif global.

Dia mengatakan, Bank Dunia telah memberikan rekomendasi besaran tarif pajak karbon sekitar 35-40 dollar AS per ton. Di Tiongkok, saat pemerintahnya ingin memulai skema perdagangan emisi untuk pembangkit listrik, mereka menetapkan harga hingga 6,9 dollar AS per ton dan akan naik menjadi 15 dollar AS per ton pada 2030. Artinya, angka Rp 30,00 per kilogram atau sedikit lebih dari dua dolar AS per ton yang diterapkan oleh pemerintah masih terlalu murah.

“Selama masa penundaan ini, sebaiknya pemerintah mulai kembali menyesuaikan harga karbon dengan target penurunan emisi di 2025 dan 2030,” tuturnya pada tanahair.net.

Di sisi lain, pemerintah, menurutnya, harus membangun jalur komunikasi yang lebih jelas dan transparan kepada dunia industri dan pelaku usaha terkait rencana penerapan NEK. Saat ini, tidak bisa dipungkiri bahwa muncul beberapa penolakan dari dunia industri di Indonesia. Penyebabnya, tidak lepas dari kurangnya informasi yang diterima dari pemerintah.

Informasi ini harus jelas. Pemerintah, menurutnya, harus mampu membangun jalur komunikasi yang lebih jelas dan transparan kepada dunia industri dan pelaku usaha. Saat ini, tidak bisa dipungkiri bahwa muncul beberapa penolakan dari dunia industri di Indonesia. Penyebabnya, tidak lepas dari kurangnya informasi yang diberikan oleh pemerintah. Tujuan dari peraturan ini adalah mengurangi emisi karbon. Artinya, peraturan ini harus mampu mendorong sektor industri atau ekonomi melakukan transformasi ke arah pembangunan yang lebih rendah emisi.

“Tentu semua harus duduk bareng, baik pemerintah, asosiasi-asosiasi industri, pelaku industri, Kadin dan stakeholders lainnya,” lanjut Fabby.

Dari dunia usaha, Direktur PT Bumi Resources Tbk. (BUMI), Dileep Srivastava mengakui hal ini. Hingga saat artikel ini diturunkan, Dileep masih belum mendapatkan informasi yang komprehensif terkait aturan pajak karbon. Bahkan, terkait kredit karbon, dalam pemahamannya, Dileep meyakini bahwa kredit karbon tidak akan berpengaruh terhadap rencana pengurangan emisi GRK.

Kredit karbon sendiri merupakan sebuah izin yang dapat diperdagangkan dan memungkinkan perusahaan untuk mencemari sampai batas tertentu, tetapi batas tersebut akan dikurangi secara berkala. Di dalam mekanisme Nilai Ekonomi Karbon pun, dijelaskan bahwa entitas yang melakukan aktivitas penurunan emisi dapat menjual kredit karbonnya kepada entitas yang memerlukan kredit karbon.

“Kredit karbon ini bukan solusi untuk mengurangi emisi. Kredit karbon hanyalah mekanisme dalam perdagangan karbon,” jelas Dileep saat dihubungi oleh tanahair.net.

Peta jalan pajak karbon

Salah satu alasan pemerintah melakukan penundaan penerapan pajak karbon adalah, pemerintah masih harus menggodok peta jalan pajak karbon ini. Anih Sri Suryani, Peneliti Madya Bidang Kebijakan Lingkungan di Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI, dalam kajiannya bertajuk “Persiapan Implementasi Pajak Karbon di Indonesia” menjelaskan bahwa isi peta jalan yang saat ini tengah disusun pemerintah, memuat beberapa poin seperti: strategi penurunan emisi karbon dalam NDC, sasaran sektor prioritasnya, keselarasan dengan pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT) serta keselarasan dengan kebijakan lainnya. Nantinya, pajak karbon akan mulai diimplementasikan bertahap sesuai dengan peta jalan yang telah dibuat.

Selain menjadi prioritas dalam pencapaian target NDC, peta jalan pajak karbon juga harus mempertimbangkan kesiapan sektor prioritas dan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat. Peta jalan ini harus mempertimbangkan perkembangan pasar karbon dan disinkronkan dengan peta jalan pasar karbon, karena Indonesia memiliki potensi pasar utama dalam pasar karbon di dunia.

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles