Jakarta – Pemerintah tengah mengkaji berbagai kontrak jual beli gas ke luar negeri dalam rangka persiapan untuk menghentikan ekspor gas. Gas tersebut disiapkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves), Luhur Binsar Pandjaitan mengatakan, penggunaan gas di dalam negeri diproyeksikan bakal terus meningkat seiring dengan masa transisi energi.
“Pemerintah tidak akan lagi memberikan izin kepada para pelaku usaha untuk memperpanjang kontrak penjualan gas ke luar negeri. Kalau kontrak yang sudah selesai kita tidak perpanjang itu intinya,” ungkap Luhut.
Adapun penerapan kebijakan larangan ekspor gas ini masih tetap menunggu rapat dengan presiden. Meski begitu, lanjutnya, pemerintah tidak akan gegabah. Pemerintah akan meneliti setiap kontrak yang ada agar tidak melanggar hukum yang nantinya bisa berdampak pada iklim investasi di tanah air.
“Pemerintah hanya menghentikan ekspor gas yang kontraknya sudah habis,” imbuhnya.
Selama ini ada dua fasilitas LNG berkapasitas raksasa di Tanah Air yaitu Badak LNG yang kelola kilang Bontang di Kalimantan yang kini dikelola oleh Pertamina. Lalu ada kilang LNG Tangguh yang dikeola BP di Papua.
Sementara itu, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengatakan, pasar gas di dalam negeri belum mapan jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Amerika Serikat. Pengalihan penjualan gas sepenuhnya ke dalam negeri, kata Moshe, membuat hitung-hitungan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) menjadi kurang menarik.
Apalagi, kata Moshe, harga gas di Indonesia sebagian besar digerakkan oleh keekonomian lapangan yang bertumpu pada biaya pokok produksi gas yang tinggi. Situasi itu membuat harga gas di dalam negeri tidak relevan atas pergerakan harga di pasar dunia. (Hartatik)