oleh: Nabiha Shahab
Banjir adalah ancaman serius di daerah padat penduduk di Cempaka Putih Timur, Jakarta. Pada tahun 1996 dan 2006, banjir besar melanda sebagian wilayah tersebut, membuat air tergenang selama berhari-hari dan menyebabkan kerusakan parah. “Banjirnya bisa mencapai satu meter, bahkan sampai masuk ke dalam rumah,” kenang Adian Sudiana, salah seorang warga yang tinggal di Rukun Warga 3 (RW3).
Menanggapi bencana ini, pemerintah setempat turun tangan dengan membangun tanggul beton di sepanjang sungai dan memperdalam dasar sungai. Meskipun upaya “normalisasi” ini menggusur tanaman buah dan sayuran yang dulunya tumbuh di sepanjang bantaran sungai, masyarakat dengan cepat mengambil tindakan untuk mengembalikan penghijauan yang hilang. “Pada akhir tahun 2016, kami mulai menanam lagi,” kata Adian. “Sekarang sudah mulai terlihat seperti hutan di sepanjang tepi sungai dengan tanaman pelindung, pohon buah-buahan. Kami juga menanam sayuran dengan menggunakan sistem hidroponik.”
Pembuatan sumur resapan pada tahun 2020 merupakan langkah penting lainnya dalam mengurangi risiko banjir selama hujan lebat yang sering terjadi di Jakarta. “Kami telah memasang sumur resapan, beberapa di antaranya sedalam 40 meter, untuk mengelola air hujan. Sekarang, air tidak tergenang lama, dan banjir di tepi sungai telah berkurang drastis,” jelas Adian.
Terlepas dari upaya-upaya ini, lingkungan ini masih bergulat dengan tantangan terkait iklim. Adian, yang telah menyaksikan perubahan musim dan peningkatan suhu, mengatakan, “Saya lahir di sini. Saya tahu lokasi ini. Musim hujan, musim kemarau-tidak lagi dapat diprediksi seperti tahun 80-an. Keadaan semakin memburuk setiap tahun seiring dengan meningkatnya suhu udara.”
Sejak tahun 2014, RW3 telah menjadi bagian dari Program Kampung Iklim (ProKlim), sebuah inisiatif nasional yang mendorong masyarakat setempat untuk beradaptasi dan secara aktif melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Namun, jauh sebelum bergabung dengan ProKlim, warga telah melakukan inisiatif-inisiatif keberlanjutan. “Sebelum ada ProKlim, kami sudah ada kegiatan di sini,” kata Adian. “Dulu, rata-rata rumah memiliki sepetak tanah untuk taman. Namun sekarang, lahan tersebut semakin berkurang seiring dengan semakin banyaknya rumah yang dibangun. Kami masih menemukan cara untuk menanam, meskipun hanya di dalam pot.”
Di lingkungan ini, para penghuni telah menciptakan oasis hijau di tengah-tengah pemukiman padat. “Ada satu gang yang terasa seperti hutan di tengah-tengah pemukiman warga,” ujar Adian dengan bangga. Upaya penghijauan yang dilakukan oleh masyarakat tidak hanya untuk estetika, namun juga sebagai bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim.
Pengelolaan sampah juga menjadi fokus utama RW3. “Kami mulai memilah sampah pada tahun 2006,” kata Adian. “Memang tidak mudah, tetapi tim kami harus memberikan contoh. Kami bekerja sama dengan pemerintah dan pihak-pihak lain.” Pada tahun 2021, masyarakat bekerja sama dengan pemerintah kota untuk memilah sampah organik.
“Setiap pagi pukul 9.30, sampah organik yang telah dikumpulkan di tempat khusus diambil untuk diproses,” kata Adian, seraya menambahkan bahwa sebelum tahun 2021, masyarakat sudah terbiasa memilah dan membuat kompos dari sampah organik.
Sampah organik dibawa ke pabrik biokonversi belatung terdekat, yang dikelola oleh pemerintah daerah, sehingga mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke Bantar Gebang, tempat pembuangan sampah utama di Jakarta, sebanyak 400 kilogram setiap harinya.
Namun demikian, tantangan tetap ada. Intrusi air laut telah mempengaruhi air tanah, memaksa penduduk untuk bergantung pada sistem air kota untuk penggunaan sehari-hari dan menyesuaikan metode penanaman mereka. “Kami menggunakan tanaman bambu untuk menahan air,” ujar Adian.
Pendekatan RW3 yang beragam dalam mengatasi perubahan iklim-mulai dari mitigasi banjir dan penghijauan hingga pengelolaan limbah dan teknik penanaman yang inovatif-menunjukkan ketangguhan dan tekad mereka. “Kesadaran masyarakat masih terus berkembang, dan itu tidak selalu mudah,” Adian mengakui. “Namun, melalui ProKlim, kami membuktikan bahwa masyarakat setempat dapat membuat perubahan nyata dalam memerangi perubahan iklim.”
Lingkungan di Cempaka Putih Timur ini menjadi bukti bahwa masyarakat setempat, dengan dedikasi dan kegigihan, dapat mengubah diri mereka sendiri menjadi model keberlanjutan lingkungan, bahkan dalam menghadapi tantangan iklim yang semakin meningkat.
Foto banner: Adian Sudiana, warga RW3 Cempaka Putih Timur, Jakarta, dan pegiat lingkungan. 22 Agustus 2024 (nsh)