Jakarta-Usulan Pemerintah Indonesia untuk mengkonversi 20 juta hektar hutan-hampir dua kali lipat dari luas Pulau Jawa-menjadi lahan untuk energi dan tanaman pangan menuai banyak kecaman. Para ahli lingkungan dan kelompok masyarakat sipil menyebut rencana tersebut sebagai rencana yang merusak secara ekonomi dan lingkungan, dan memperingatkan bahwa rencana tersebut dapat memperburuk krisis iklim, merusak keanekaragaman hayati, dan menggusur masyarakat adat.
Koalisi Transisi Bersih, sebuah koalisi organisasi masyarakat sipil untuk pembangunan rendah emisi dan berkeadilan iklim, berpendapat bahwa rencana ambisius untuk mencapai swasembada pangan dan energi bertentangan dengan tujuannya. Dalam sebuah pernyataan pada hari Senin, 20 Januari, mereka mengatakan bahwa deforestasi dalam skala ini akan mempercepat perubahan iklim dan bukannya memperkuat ketahanan, yang telah merusak produktivitas pertanian global.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Refki Saputra, mengatakan, “Dorongan pemerintah untuk swasembada pangan dengan memfokuskan diri pada satu komoditas hanya akan mengulangi kesalahan di masa lalu. Rencana ini akan memperparah krisis iklim. Perubahan iklim telah menurunkan produksi pertanian global sebesar 21%. Sebagai wilayah yang lebih hangat, Indonesia mengalami dampak yang lebih parah, dengan penurunan produktivitas sebesar 30-33%”.
Ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan iklim
Pertaruhannya terhadap lingkungan sangat signifikan. Mengubah hutan menjadi perkebunan akan melepaskan sekitar 4,9 miliar ton emisi karbon, yang akan memperparah pemanasan global. Hal ini juga akan membahayakan keanekaragaman hayati Indonesia yang kaya, termasuk spesies yang terancam punah seperti orangutan. Dengan kurang dari 120.000 orangutan yang tersisa di alam liar, deforestasi merupakan ancaman besar bagi kelangsungan hidup mereka.
Andi Muttaqin, Direktur Eksekutif Satya Bumi, menyoroti risiko yang ditimbulkan oleh perluasan perkebunan bahan bakar nabati seperti kelapa sawit. “Penelitian Satya Bumi menunjukkan bahwa batas maksimum perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 18,15 juta hektar, namun perkebunan yang ada saat ini telah mencapai 17,77 juta hektar. Perluasan 20 juta hektar lahan dapat melipatgandakan luas lahan yang ada saat ini, melebihi kapasitas lingkungan dan menyebabkan degradasi yang parah, mengancam kelangsungan hidup manusia dan keanekaragaman hayati,” ujarnya.
Dampak terhadap masyarakat adat dan ekosistem
Rencana tersebut juga berisiko menggusur masyarakat adat yang bergantung pada hutan untuk mata pencaharian dan identitas budaya mereka. Kebijakan-kebijakan di masa lalu telah membuat masyarakat terpinggirkan dan tergusur, sehingga memicu tantangan sosial dan ekonomi yang meluas.
Pembukaan hutan berskala besar juga meningkatkan risiko bencana kebakaran. Sebagai contoh, kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 menyebabkan kerugian sebesar Rp 220 triliun pada keanekaragaman hayati yang terancam punah. Kebakaran tersebut memicu masalah kesehatan yang parah bagi lebih dari 500.000 orang, menurut Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut.
Meskipun pemerintah telah menjamin bahwa inisiatif ini tidak akan mengakibatkan deforestasi, bukti-bukti menunjukkan sebaliknya. Amalya Reza Oktaviani, Manajer Kampanye Bioenergi Trend Asia, menepis klaim-klaim semacam itu sebagai “menyesatkan.” Penelitian dari Trend Asia mengindikasikan bahwa untuk memproduksi 10 juta ton pelet kayu untuk penggunaan biomassa dalam negeri, diperlukan deforestasi hingga 1 juta hektar.
Dorongan biomassa, termasuk program pembakaran bersama di pembangkit listrik tenaga batu bara, akan membutuhkan tambahan 2,3 juta hektar perkebunan energi, yang akan memperparah tekanan terhadap lingkungan.
Panggilan untuk alternatif yang berkelanjutan
Organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana konversi hutan dan mengadopsi strategi yang berkelanjutan. Hal ini termasuk mengoptimalkan lahan pertanian yang ada, menghormati hak-hak masyarakat adat, dan menerapkan reformasi agraria yang sesungguhnya. Mendukung petani skala kecil dan mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan sangat penting untuk mencapai kedaulatan pangan dan energi tanpa mengorbankan kesehatan lingkungan.
Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka, menekankan, “Pemerintah harus memprioritaskan pelaksanaan reformasi agraria, menangani keadilan kepemilikan lahan, menyelesaikan konflik, serta mengakui, melindungi, dan memulihkan hak-hak masyarakat adat dan lokal”.
Rencana konversi hutan yang diusulkan telah memicu perdebatan penting tentang prioritas pembangunan Indonesia. Para pemerhati lingkungan memperingatkan bahwa mengeksploitasi sumber daya alam dengan mengorbankan keseimbangan ekologi dan hak asasi manusia tidaklah berkelanjutan. Sebaliknya, mereka mengadvokasi kebijakan yang menyelaraskan tujuan ekonomi dengan pelestarian lingkungan dan kesetaraan sosial, memastikan masa depan yang tangguh bagi manusia dan planet ini. (nsh)