Realistiskah janji Indonesia untuk mengakhiri penggunaan batu bara pada tahun 2040?

oleh: Fidelis Eka Satriastanti*

Dalam KTT G20 di Rio De Janeiro pada bulan November lalu, presiden Indonesia yang baru terpilih saat itu, Prabowo Subianto, mengeluarkan sebuah pernyataan yang cukup berani: Indonesia akan menghentikan semua pembangkit listrik tenaga batu bara dalam 15 tahun ke depan dan membangun lebih dari 75 GW kapasitas energi terbarukan pada tahun 2040. Pernyataan ini, yang bertujuan untuk menunjukkan kepemimpinan iklim Indonesia, muncul di saat Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara. Para analis mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan transisi energi 15 tahun yang dicanangkan Prabowo akan membutuhkan reformasi kebijakan yang komprehensif, seperti penyederhanaan peraturan, serta investasi besar-besaran di bidang infrastruktur energi terbarukan dan kerangka kerja keuangan.

Novita Indri Pratiwi, juru kampanye bahan bakar fosil di Trend Asia, mengatakan bahwa pernyataan tersebut menunjukkan adanya kemauan politik untuk mengatasi ketergantungan batu bara di Indonesia. Namun, ia memperingatkan bahwa “janji-janji yang dibuat di panggung global tidak akan berarti banyak tanpa implementasi nyata di dalam negeri.” Pada tahun 2023, batu bara menyumbang 61,8% dari bauran energi Indonesia – rekor tertinggi – menurut Ember, sebuah lembaga pemikir energi global. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling bergantung pada batu bara di Asia Tenggara, bersama dengan Filipina. Target energi terbarukan Indonesia saat ini adalah 23% pada tahun 2025. Namun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi bahwa target tersebut hanya akan tercapai sebesar 14% pada tahun 2024.

Membiayai pemadaman listrik

Dalam sebuah rapat dengar pendapat baru-baru ini di Dewan Perwakilan Rakyat, Darmawan Prasodjo, Direktur Utama PLN, perusahaan listrik milik negara, mengungkapkan kekhawatirannya mengenai pembiayaan penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara. Ia menjelaskan bahwa perusahaan tidak memiliki anggaran untuk menghentikan semua pembangkit listrik tenaga batu bara dalam waktu 15 tahun, dan mengungkapkan bahwa menutup satu pembangkit listrik tenaga batu bara membutuhkan biaya antara 30-50 triliun rupiah, atau antara 1,8-3,1 miliar dollar AS.

Darmawan berpendapat bahwa pengurangan emisi gas rumah kaca seharusnya menjadi tanggung jawab bersama secara global, bukan hanya menjadi beban Indonesia. “Penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara membutuhkan pendanaan global. Kami telah menetapkan kriteria bahwa setiap penghentian dini harus netral biaya. Jika ada biaya tambahan, itu tidak akan menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia atau PLN karena dampak pengurangan emisi menguntungkan masyarakat global, bukan hanya Indonesia,” katanya. Darmawan lebih lanjut menjelaskan bahwa PLN melakukan transisi ini dengan hati-hati, karena dana yang signifikan akan dibutuhkan untuk membangun infrastruktur energi terbarukan, yang masih mahal.

Fabby Tumiwa, direktur eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), sebuah lembaga think tank di Indonesia, mengatakan bahwa penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara layak secara finansial, tetapi hanya jika pengembangan energi terbarukan diprioritaskan. “Tantangannya adalah kita harus segera mengembangkan infrastruktur energi terbarukan sebelum pembangkit listrik tenaga batu bara ini dipensiunkan, karena kita masih membutuhkan listrik untuk beroperasi,” ujarnya.

Dinita Setyawati, analis kebijakan kelistrikan senior untuk Asia Tenggara di Ember Energy, menyerukan mekanisme pembiayaan yang inovatif dan insentif yang lebih menarik untuk mendukung penghentian penggunaan batu bara. “Menerapkan atau memperluas mekanisme penetapan harga karbon, seperti pajak karbon atau skema perdagangan emisi, dapat menghasilkan pendapatan untuk mendanai penghentian penggunaan batu bara,” ujarnya. Ia menyoroti tantangan-tantangan dalam mengakses pendanaan internasional dan terbatasnya pengalaman dalam mendanai proyek-proyek energi terbarukan lokal. “Pemerintah dapat mengatasi hambatan-hambatan ini dengan menyelenggarakan program pelatihan, lokakarya, dan sesi penjangkauan untuk menarik lebih banyak pemain lokal untuk berpartisipasi dalam pasar energi terbarukan dan penghentian penggunaan batu bara,” tambahnya.

Fabby juga mencatat manfaat ekonomi jangka panjang dari penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara, menjelaskan bahwa penghematan dapat mencapai USD 18,7 miliar pada tahun 2045, selain mengurangi biaya kesehatan yang terkait dengan batu bara. “Ya, memang akan ada biaya di awal untuk energi terbarukan, namun ini merupakan investasi yang baik untuk kepentingan nasional, dan kita harus melihatnya dari sudut pandang tersebut,” ujarnya.

Transisi ke energi terbarukan

Pada saat COP29 di Baku, Azerbaijan, utusan khusus Indonesia untuk perubahan iklim, Hashim Djojohadikusumo, mengumumkan bahwa Indonesia berencana untuk mengalokasikan kapasitas energi terbarukan sebesar 75 GW pada tahun 2040. Hashim memperkirakan bahwa transisi ini akan membutuhkan total investasi sebesar USD 235 miliar, dengan fokus pada pengembangan pembangkit listrik tenaga air, energi panas bumi, tenaga surya, pembangkit listrik tenaga angin, dan proyek-proyek energi nuklir. Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai 23% bauran energinya dari sumber-sumber terbarukan pada tahun 2025. Namun, Kementerian ESDM melaporkan bahwa Indonesia masih jauh dari target sementara 19,5% untuk tahun 2024, dengan mengutip rintangan regulasi dan finansial sebagai faktor utama.

Negara-negara tetangga telah menetapkan target energi terbarukan yang jauh lebih ambisius. Filipina, misalnya, telah berjanji untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran listriknya menjadi 35% pada tahun 2030 dan 50% pada tahun 2040. Sementara itu, Vietnam menargetkan 30% hingga 39% pada tahun 2030. Analisis terbaru dari Ember menunjukkan bahwa Indonesia dapat mengadopsi strategi energi yang lebih ambisius dengan menambahkan 8 GW energi terbarukan setiap tahunnya dan mengurangi pembangkit listrik tenaga batu bara sebesar 3 GW setiap tahunnya hingga tahun 2040. Dengan permintaan listrik yang diperkirakan akan tumbuh sekitar 5% per tahun di tahun-tahun mendatang, laporan ini menunjukkan bahwa Indonesia dapat memenuhi proyeksi permintaan listrik sebesar 806 TWh di tahun 2040, asalkan pangsa energi terbarukan mencapai 65%. Dalam skenario ini, energi surya akan menyumbang 20%, angin 11%, dan energi terbarukan lainnya, seperti nuklir, panas bumi, bioenergi, dan hidro, akan menyumbang 34%.

Dinita menekankan bahwa pencapaian target ini dapat dilakukan, namun perlu memprioritaskan langkah-langkah yang tepat. Di antaranya, ia menyarankan untuk fokus pada percepatan pengembangan energi terbarukan, mengamankan investasi untuk infrastruktur seperti jaringan listrik dan penyimpanan energi, dan meningkatkan proses perencanaan untuk merampingkan integrasi energi terbarukan. “Memungkinkan PLN untuk memproyeksikan pasokan dan permintaan secara akurat dengan menyusun dan memajukan proyek-proyek berbasis energi terbarukan yang layak akan semakin meningkatkan kemungkinan keberhasilannya,” ujar Dinita.

Novita dari Trend Asia menambahkan bahwa menutup pembangkit listrik tenaga batu bara juga menimbulkan masalah sosial yang harus diatasi. “Kita tidak bisa begitu saja menutup PLTU batu bara dan pergi begitu saja. Dampaknya terhadap pekerja, lingkungan dan pemulihannya, serta masyarakat juga harus dikelola dengan hati-hati,” ujarnya. CELIOS dan Yayasan Cerah, dua LSM yang berfokus pada energi, bersama-sama menerbitkan sebuah studi pada tahun 2023 yang meneliti dampak sosial dan ekonomi dari penghentian penggunaan batu bara secara dini. Studi tersebut menemukan bahwa penutupan PLTU Cirebon, Pelabuhan Ratu, dan Suralaya akan mengakibatkan setidaknya 14.000 orang kehilangan pekerjaan dan hilangnya pendapatan sebesar Rp 3,96 triliun (USD 243 juta). Namun, jika penutupan PLTU Batubara disertai dengan pengembangan energi terbarukan, maka hal tersebut dapat menciptakan 639.269 lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan pendapatan sebesar Rp. 82,6 triliun (USD 5 miliar).

Meskipun janji Indonesia untuk menghentikan penggunaan batu bara pada tahun 2040 menandai pergeseran politik yang signifikan, kelayakannya bergantung pada upaya untuk mengatasi tantangan finansial, infrastruktur, dan sosial yang besar. Para ahli menekankan bahwa tanpa perencanaan yang matang, pembiayaan yang inovatif, dan dukungan internasional yang kuat, transisi ini berisiko macet. Dengan meningkatnya permintaan listrik dan meningkatnya biaya kesehatan dan ekonomi akibat penggunaan batu bara, janji-janji berani dari pemerintahan Prabowo merupakan tantangan yang mendesak sekaligus peluang bagi masa depan energi berkelanjutan di Indonesia.

*Artikel ini pertama kali dipublikasi dalam bahasa Inggris di Dialogue Earth pada tanggal 7 Januari 2025 dengan judul: Is Indonesia’s pledge to end coal use by 2040 realistic?

Foto banner: Presiden Indonesia Prabowo Subianto bertemu dengan Perdana Menteri India Narendra Modi di KTT G20 di Brasil, November 2024. Dalam pertemuan negara-negara dengan perekonomian terbesar di dunia ini, pemimpin Indonesia berjanji untuk menghentikan penggunaan batu bara pada tahun 2040 (Foto: MEAphotogallery, CC BY-NC-ND 2.0)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles