Proyek smelter didorong menggunakan energi hijau

Jakarta – Pemerintah berencana membatasi pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter yang tidak berorientasi pada penggunaan energi bersih dan ramah lingkungan untuk mendorong industri hijau.

“Ke depan, kita akan melakukan pembatasan terhadap pembangunan smelter yang tidak berorientasi pada green energy,” ujar Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, dikutip dari keterangan pers yang disiarkan YouTube Sekretariat Presiden, baru-baru ini.

Menurut Bahlil, pembatasan tersebut bertujuan menciptakan produk maupun komoditas yang dihasilkan dari energi terbarukan yang saat ini permintaannya kian melonjak di pasar global. Kebijakan pembatasan tersebut merupakan bentuk kepedulian pemerintah, dalam rangka melakukan penataan terhadap pengembangan produk yang berorientasi pada green energy dan green industri.

Bahlil menambahkan, pemerintah saat ini sedang mengatur formulasi insentif untuk membangun industri kendaraan listrik yang kompetitif sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru. Dia juga menilai bahwa Indonesia memiliki pangsa pasar kendaraan listrik yang besar. “Jangan sampai pasar kita itu dilakukan penetrasi dengan produk-produk dari luar negeri, kita harus jaga. Yang kedua adalah, kita juga mampu melakukan penetrasi pasar ekspor,” ujarnya.

Informasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat ini Indonesia sudah memiliki 21 smelter, ada tambahan 7 pada 2022 yang sedang dalam proses. Adapun pada 2023, pemerintah menargetkan akan ada tambahan fasilitas pemurnian hingga mencapai 53 smelter.

Terpisah, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara (Minerba), Irwandy Arif mengungkapkan banyaknya tantangan yang dihadapi industri hilirisasi membuat target 53 smelter di 2023 berpotensi tidak tercapai. Adapun tantangan yang harus dihadapi pelaku usaha seperti kendala pada aspek perizinan, pendanaan, kesiapan energi (tarif listrik, biaya instalasi), dan isu lainnya seperti kedatangan alat dan Tenaga Kerja Asing (TKA), teknologi.

Selain itu, ada tantangan lainnya berupa penerapan teknologi bersih. Produk logam hijau akan mendukung ekosistem baterai dan kendaraan listrik. Namun, saat ini produksi logam di Indonesia baru terbatas pada logam utama seperti nikel, emas, perak, tembaga, tetapi produk sampingan belum digarap dengan baik.

Padahal pengembangan ekosistem baterai, stainless steel, dan modul surya yang sudah ada di depan mata sudah cukup berkembang di Indonesia. “Ini tinggal bagaimana memaksimalkan proses hilirisasi,” ujarnya. (Hartatik)

Foto banner: Morowali Utara, 26 November 2022: Kelanjutan Pembangunan Smelter Furronickel, produksi feronikel. (Eklesia_Magelo/shutterstock.com)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles