Program Biodiesel B40 dapat menyebabkan defisit minyak sawit nasional, para ahli memperingatkan

Jakarta – Implementasi program Biodiesel B40 di Indonesia, yang mewajibkan pencampuran 40% biodiesel yang berasal dari minyak kelapa sawit, menimbulkan kekhawatiran akan potensi defisit minyak kelapa sawit nasional. Para ahli memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat membebani pasokan yang dibutuhkan untuk produksi pangan, terutama minyak goreng.

Menurut Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), produksi minyak kelapa sawit Indonesia di tahun 2025 diperkirakan akan turun 5,1% karena perkebunan-perkebunan yang sudah tua dan membutuhkan peremajaan. Sementara itu, permintaan domestik melonjak, tidak hanya untuk bahan bakar nabati tetapi juga untuk inisiatif pemerintah seperti Program Makanan Bergizi Gratis.

“Kami menghitung, proyeksi kebutuhan bahan baku dari CPO untuk penerapan B40 mencapai 14,8 juta MT atau naik sebesar 31,3% dari 2024,” ujar Marselinus Andry, Kepala Departemen Advokasi SPKS, dalam pernyataan pers, Kamis, 6 Februari.

Ia memperingatkan bahwa jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan ini dapat mengulangi krisis minyak goreng pada tahun 2022, ketika terjadi kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri karena CPO lebih diprioritaskan untuk ekspor dan produksi biodiesel. Di bawah program B35, kuota biodiesel nasional akan meningkat menjadi 15,6 juta kiloliter, naik dari 12,98 juta kiloliter.

Kelompok-kelompok lingkungan hidup juga telah menyuarakan keprihatinan mereka bahwa perluasan lahan untuk memenuhi permintaan yang meningkat dapat menyebabkan deforestasi, yang membutuhkan hingga 138.000 hektar perkebunan kelapa sawit baru.

Untuk mengatasi tantangan pasokan, pemerintah telah mengeluarkan peraturan baru yang membatasi ekspor Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (POME) dan Residu Minyak Kelapa Sawit Berasam Tinggi (HAPOR), dan memprioritaskan produk sampingan ini untuk produksi biodiesel dalam negeri. Namun, para pengkritik berpendapat bahwa langkah-langkah tersebut tidak dapat menyeimbangkan distribusi minyak kelapa sawit antara kebutuhan pangan dan bahan bakar.

Para pakar industri menekankan pentingnya mengintegrasikan petani swadaya ke dalam rantai pasok dan mengeksplorasi bahan baku alternatif, seperti minyak jelantah, untuk mengurangi ketergantungan pada minyak kelapa sawit segar. Tanpa penyesuaian-penyesuaian ini, Indonesia menghadapi risiko memburuknya konflik antara pangan dan bahan bakar, yang berpotensi mengakibatkan kenaikan harga minyak goreng dan ketidakstabilan pasokan yang berkelanjutan. (nsh)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles