Jakarta – Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) bersama PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) memulai kolaborasi strategis dalam pembangunan pabrik bioetanol di Glenmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Pabrik ini akan memanfaatkan molases, produk sampingan dari pengolahan tebu, sebagai bahan baku utama untuk memproduksi bioetanol dengan kapasitas mencapai 30.000 kiloliter (KL) per tahun.
Pabrik bioetanol yang akan dibangun ini bertujuan untuk mempercepat transisi energi nasional melalui penyediaan bahan bakar nabati (BBN), mendukung langkah Indonesia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), serta mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar minyak (BBM). John Anis, CEO Pertamina NRE, menyatakan bahwa kolaborasi ini merupakan langkah strategis dalam mendukung target pemerintah untuk mencapai swasembada energi.
“Kami yakin kolaborasi antara Pertamina NRE dan SGN akan membawa dampak positif bagi percepatan transisi energi di Indonesia. Ini adalah bagian dari upaya kami untuk mengembangkan energi terbarukan, terutama bioetanol,” ujar John Anis usai penandatanganan kerja sama dalam keterangan tertulis, Jumat, 6 September.
Mahmudi, Direktur Utama SGN, juga mengapresiasi kerja sama ini sebagai langkah konkret dalam mendukung Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanol. “Kerja sama ini sejalan dengan komitmen kami untuk terus mendukung pengembangan bioetanol di Indonesia. Ini adalah salah satu cara untuk mengoptimalkan produk sampingan industri gula, yaitu molases, yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal,” kata Mahmudi.
Pabrik bioetanol yang akan dibangun di Banyuwangi diproyeksikan mampu menghasilkan sekitar 100 kiloliter per hari. Bioetanol yang diproduksi ini nantinya akan dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar Pertamax Green 95, produk BBM ramah lingkungan yang telah diluncurkan oleh Pertamina sejak 2023.
Selain kerja sama dengan SGN, Pertamina NRE juga menggandeng Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mengembangkan proyek bioetanol di wilayah tersebut. Proyek ini bertujuan untuk memanfaatkan lahan di NTT untuk menanam berbagai tanaman energi seperti jagung, tebu, dan singkong yang cocok untuk memproduksi bioetanol.
Penjabat Gubernur NTT, Ayodhia G L Kalake, mengungkapkan harapannya agar proyek ini tidak hanya mendukung program energi terbarukan, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal.
“Kami berharap pengembangan bioetanol di NTT dapat memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah. Secara geografis, NTT sangat cocok untuk tanaman energi seperti jagung, yang akan menjadi bahan baku utama produksi bioetanol,” kata Ayodhia.
Implementasi bioetanol sebagai campuran BBM juga sejalan dengan upaya pemerintah dalam menurunkan emisi GRK dari sektor transportasi. Selain itu, pengembangan bioetanol diharapkan dapat meningkatkan perekonomian daerah, membuka lapangan kerja baru, dan mendukung target Indonesia untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060.
Pertamina NRE akan menjadi penyedia bioetanol yang kemudian akan diolah dan didistribusikan melalui PT Pertamina Patra Niaga, bagian dari Pertamina Group.
“Sebagai bagian dari Pertamina Group, kami terus berkomitmen untuk mendukung transisi energi dan mencapai aspirasi Indonesia menuju NZE. Inisiatif-inisiatif seperti ini adalah bagian penting dari komitmen kami terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan (ESG),” pungkas John Anis.
Dengan adanya proyek ini, Pertamina NRE bersama SGN dan Pemerintah Provinsi NTT diharapkan dapat mendorong pengembangan bioetanol secara lebih luas, meningkatkan produksi energi terbarukan, dan mendukung agenda besar Indonesia menuju energi hijau dan keberlanjutan ekonomi. (Hartatik)
Foto banner: Molase blackstrap yang diproduksi secara organik di Paraguay. Wikimedia Commons/Badagnani