oleh Nabiha Shahab*
Dampak perubahan iklim semakin tak terbantahkan, dan telah merasuk ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari pola cuaca yang tidak menentu hingga naiknya permukaan air laut yang mengancam kota-kota pesisir, krisis iklim merupakan kenyataan yang tidak dapat kita abaikan. Namun, upaya global untuk memitigasi perubahan ini dihambat oleh kebijakan yang saling bertentangan, dan mendukung industri yang menimbulkan polusi dan melemahkan kerangka kerja peraturan yang diperlukan.
Awal bulan ini, Mahkamah Agung AS membatalkan “Chevron deference,” sebuah doktrin berusia 40 tahun yang memberikan kelonggaran bagi badan-badan federal untuk menafsirkan undang-undang yang ambigu. Keputusan ini sangat membatasi kemampuan badan-badan federal untuk mengeluarkan peraturan dan panduan yang mengikat, terutama ketika Kongres AS gagal mengatasi kerumitan tak terduga. Pada dasarnya, keputusan ini mengurangi peran pemerintah dalam menegakkan akuntabilitas perusahaan, dan lebih memihak pada industri dengan tingkat polusi yang tinggi. Akibatnya, semakin sulit untuk menerapkan peraturan lingkungan yang efektif, sehingga semakin memperparah krisis iklim.
Demikian pula, Indonesia juga menunjukkan contoh nyata dari kebijakan iklim yang saling bertentangan. Sementara Indonesia bersiap untuk mengumumkan Kontribusi Nasional yang Diniatkan Kedua (Second Nationally Determined Contribution/SNDC) yang ambisius dengan target 1,5 derajat Celcius, rencana energinya justru menunjukkan hal yang berbeda.
Hal ini terjadi bersamaan dengan lonjakan global pertumbuhan energi terbarukan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan peningkatan sebesar 50 persen pada tahun 2023 saja. Alih-alih memanfaatkan tren ini dan memprioritaskan sumber energi terbarukan di atas bahan bakar fosil, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa Indonesia tidak akan meninggalkan bahan bakar fosil selama masa transisi, tetapi ketergantungan terhadap batu bara dan gas semakin menimbulkan tantangan yang signifikan.
Pada bulan Oktober 2023, Uni Eropa memperkenalkan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (Carbon Border Adjustment Mechanism/CBM), yang bertujuan untuk ‘memberi harga’ pada polusi, termasuk untuk produk impor tertentu, dan memberlakukan standar emisi yang ketat pada industri yang padat karbon. Setahun sebelum keputusan tersebut, parlemen Uni Eropa setuju untuk meningkatkan target pengurangan emisi menjadi 62 persen pada tahun 2030, yang menjadi preseden global dengan ukuran batas karbon terbesar di dunia. Peraturan ini melindungi bisnis domestik Eropa dari negara-negara yang memiliki peraturan karbon yang lebih longgar dan menekankan komitmen Uni Eropa terhadap masa depan yang lebih hijau.
Peraturan ini dapat menimbulkan masalah bagi produk-produk Indonesia yang masuk ke benua tersebut. Pekan lalu, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyampaikan kekhawatirannya bahwa kebutuhan listrik untuk smelter sangat besar. Indonesia sedang gigih mengembangkan industri nikel untuk memproduksi baterai kendaraan listrik. Masalahnya, listrik masih dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga batu bara dengan emisi karbon yang tinggi. Hal ini diakuinya akan menjadi tantangan tersendiri karena dunia kini menuntut penggunaan energi bersih, terutama dengan diberlakukannya regulasi CBAM Uni Eropa yang akan memberlakukan pajak emisi karbon pada produk industri.
Keputusan Dewan Energi Nasional untuk mengurangi target bauran energi terbarukan menjadi 17-19 persen pada tahun 2025, turun dari 23 persen sebelumnya, menandakan kemunduran yang mengkhawatirkan. Perubahan mendadak ini, yang terjadi hanya setahun sebelum tenggat waktu, menyoroti pendekatan setengah hati Indonesia terhadap transisi energi, yang bertentangan dengan komitmen Perjanjian Paris. Situasi ini diperparah dengan pergeseran global menuju energi bersih, yang membuat Indonesia tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya.
Indonesia harus mengadopsi kebijakan energi yang lebih koheren dan ambisius untuk menyelaraskannya dengan tujuan iklim global dan memenuhi komitmen Perjanjian Paris. Pertaruhannya sangat besar, dan biaya yang harus ditanggung jika kita tidak bertindak jauh lebih besar daripada tantangan untuk menerapkan peraturan lingkungan yang kuat. Krisis iklim menuntut tindakan segera dan terpadu dari semua negara.
*Artikel ini pertama tayang di Tempo English online