Jakarta – Guna mempercepat konversi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT), pemerintah bisa mengalihkan subsidi bahan bakar minyak ke listrik. Pasalnya, masalah utama dalam konversi energi saat ini adalah biaya yang dibebankan pada masyarakat lebih mahal saat menggunakan EBT.
Masukan tersebut disampaikan peneliti-peneliti dalam konferensi internasional bertajuk “Boosting Indonesia’s Role in G20 Presidency 2022” yang digelar Universitas Indonesia (UI) di JW Marriott Hotel Jakarta dan disiarkan langsung melalui kanal Zoom dan Youtube, Senin (21/6).
Dr Ir Bambang Priyono MT dari Fakultas Teknik UI mengambil studi kasus peralihan dari penggunaan sepeda motor berbahan bakar minyak ke sepeda motor berbahan bakar listrik. Menurutnya, bentuk subsidi yang diberikan nanti dapat berupa infrastruktur yang dibutuhkan motor listrik, seperti baterai dan onderdil. Selain itu, subsidi juga dilakukan dengan membiayai pengadaan sistem swap battery secara massal untuk mempermudah pengisian bahan bakar motor listrik.
Menurut Bambang, diperlukan proses bertahap untuk mengubah kebiasaan masyarakat dari penggunaan energi fosil. Proses ini dimulai dengan membiasakan masyarakat untuk mengurangi penggunaan energi fosil yang menghasilkan karbondioksida. Selanjutnya, karbondioksida yang masih tersisa akan diubah menjadi energi melalui teknologi carbon capture and utilization (CCU), seperti yang digagas tim Munawar Khalil dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UI.
Pemanfaatan teknologi CCU sekaligus menjadi transisi bagi penggunaan energi baru terbarukan karena memanfaatkan udara sekitar yang mengandung karbondioksida.

Modifikasi pengoperasin PLTU jadi opsi sebelum penghentian permanen
Suplai listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bertenaga batubara menghambat integrasi pembangkit energi terbarukan dalam satu dekade terakhir. Pasalnya, 70% dari pembangkitan listrik di Indonesia masih berasal dari PLTU, dan sebagian besar unit PLTU ini berusia di bawah 10 tahun.
“Pertumbuhan kebutuhan listrik tidak sebesar proyeksi, sehingga menyebabkan suplai listrik yang lebih. Kondisi ini menutup peluang untuk integrasi pembangkit energi terbarukan dengan masif dalam dekade ini, seiring dengan transisi sistem kelistrikan menuju net-zero emission,” ungkap Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR dalam webinar ‘Peluncuran Studi dan Diskusi: Analisis Operasi Fleksibel PLTU dalam Rangka Integrasi Energi Terbarukan’, Rabu (15/6).
Lebih lanjut, IESR menganalisis bahwa sebagai langkah sementara perlu dilakukan modifikasi (retrofit) PLTU batubara sehingga dapat dioperasikan secara fleksibel. Hal ini akan menggeser peran PLTU yang semula berfungsi murni sebagai pembangkit beban dasar (baseload), menjadi dapat menyesuaikan keluaran pembangkitnya mengikuti intermitensi energi terbarukan sehingga membantu kestabilan jaringan listrik. Opsi ini dapat diterapkan sebelum akhirnya PLTU dihentikan secara permanen.
“Artinya PLTU fleksibel akan dihentikan setelah pasokan energi terbarukan dapat memenuhi permintaan dan intermitensinya dapat diatasi dengan opsi lainnya, misalnya interkoneksi jaringan listrik, manajemen permintaan listrik melalui mekanisme pasar, dan penyimpan energi alternatif seperti baterai, turbin gas bertenaga hidrogen,” terangnya.
Sesuai kajian IESR, agar sistem kelistrikan Indonesia selaras dengan target Paris Agreement, maka pada 2030 sekitar 47% energi listrik di Indonesia harus berasal dari pembangkit energi terbarukan. Tantangannya adalah over capacity pembangkit PLN yang mencapai 5 Giga Watt (GW) membuat bauran energi terbarukan di sistem tidak dapat dinaikkan tanpa dilakukan penurunan kapasitas PLTU melalui pensiun dini, atau menurunkan faktor kapasitas PLTU dengan melakukan mode operasi fleksibel.
Rencana pemerintah dan PLN untuk melakukan pensiun terhadap 5 GW PLTU dan mengganti 3,7 GW dengan pembangkit energi terbarukan memberikan sedikit harapan. Langkah ini perlu dilengkapi dengan pengoperasian PLTU yang lebih fleksibel untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan. (Hartatik)