Jakarta — Kajian terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama RE100 dan IEEFA merekomendasikan skema pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT) sebagai solusi lambannya pertumbuhan bauran energi terbarukan dan stagnasi investasi energi bersih.
Dalam kajian berjudul “Mempercepat Investasi Energi Terbarukan di Indonesia – Pemanfaatan Bersama Jaringan Transmisi”, PJBT diusulkan sebagai model yang memungkinkan pembangkit swasta menyalurkan listrik hijau langsung ke konsumen industri, menggunakan infrastruktur milik PLN.
Saat ini, masih terpusatnya struktur industri kelistrikan di bawah kendali PLN dinilai sebagai salah satu faktor penghambat. Sebagai pembeli tunggal (single buyer), PLN menguasai rantai pembangkitan, transmisi, hingga penjualan listrik.
“Tanpa inovasi kebijakan dan model bisnis baru, pengembangan energi terbarukan akan sulit bersaing dan menarik investasi yang dibutuhkan untuk mengejar target,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Rabu, 30 April.
Meskipun pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 15,9 persen pada 2025 dan 21 persen pada 2030 dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa capaian baru di kisaran 15 persen. Sementara itu, investasi energi terbarukan mandek di angka USD 1,5–1,8 miliar per tahun, masih jauh dari target USD 2,6 miliar pada 2024.
Untuk mempercepat implementasi, PBJT direkomendasikan masuk dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) serta diintegrasikan ke dalam RUPTL PLN. Dengan demikian, model ini bisa menjadi katalis utama dalam mencapai target energi bersih dan mengundang lebih banyak investor masuk ke sektor pembangkitan listrik berbasis energi hijau.
Ollie Wilson, Ketua RE100, menyebut skema seperti ini lazim digunakan di banyak negara dan terbukti mendorong percepatan transisi energi.
“Dengan lebih dari 130 anggota RE100 yang beroperasi di Indonesia dan berkomitmen 100% energi terbarukan pada 2050, permintaan listrik hijau sudah ada. Yang dibutuhkan adalah mekanisme pasar yang memungkinkan Indonesia bersaing dan memperkuat posisinya sebagai pemimpin transisi energi di Asia,” ujarnya.
Potensi ekonomi dan investasi besar
Kajian IESR menunjukkan bahwa potensi teknis energi terbarukan Indonesia mencapai lebih dari 3.700 GW. Dari jumlah tersebut, sekitar 333 GW dapat dikembangkan secara ekonomis di bawah regulasi tarif saat ini. Dengan skema PBJT, sektor swasta bisa mengakses proyek-proyek di luar perencanaan PLN (RUPTL), sembari memperkuat jaringan nasional.
Bahkan menurut Mutya Yustika, Spesialis Keuangan Energi IEEFA Indonesia, PBJT berpotensi menutup celah pendanaan infrastruktur kelistrikan yang ditaksir mencapai USD 146 miliar. “PLN bisa mendapatkan tambahan pendapatan hingga USD 5 miliar per tahun dari penyewaan jaringan dan layanan tambahan. Ini bukan hanya peluang bisnis, tapi juga solusi untuk keberlanjutan sistem kelistrikan nasional,” ujarnya.
Agar skema PBJT dapat berjalan optimal, kajian tersebut menekankan empat prinsip utama, yaitu, pertama, akses langsung dari pembangkit ke konsumen industri; tarif sewa jaringan yang adil dan transparan; proses interkoneksi yang efisien dari segi waktu dan biaya; dan terakhir, kontrak yang mencakup aturan jaringan, komitmen pasokan, dan biaya penyeimbangan.
IESR juga merekomendasikan beberapa langkah konkret, antara lain penetapan biaya awal bagi pengembang untuk peningkatan jaringan sebelum proyek berjalan. Lali pembentukan anak perusahaan PLN khusus transmisi demi meningkatkan transparansi biaya.
Kemudian penetapan kuota tahunan dan peta jalan pengembangan EBT agar pengembang dan konsumen memiliki kepastian. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)