Pengamat: Kenaikan harga BBM momentum optimalkan transisi EBT

Kondisi pengisian BBM Pertamax yang lengang di SPBU Green Energy Station (SPBU) Jalan Hayam Wuruk, Denpasar Bali, Selasa (30/8). Disparitas harga yang masih tinggi antara Pertamax dan Pertalite membuat pengguna kendaraan bermotor masih memilih memakai BBM bersubsidi. (Foto: Hartatik)

Jakarta – Kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM menjadi momentum tepat untuk mengoptimalkan transisi energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT), pengamat isu strategis nasional dan politik internasional mengatakan Minggu (4/9).

Pengamat yang juga mantan duta besar Indonesia untuk Australia dan Tiongkok Prof. Imron Cotan mengatakan selama ini sekitar 20 persen APBN yang terkunci untuk pemberian subsidi BBM. Menurutnya, hal ini tidak sehat karena penyalurannya tidak tepat sasaran, sehingga “harus segera dilakukan penajaman subsidi agar APBN tidak tertekan. Jika tidak segera dilakukan justru kecukupan anggaran akan habis pada September ini”.

Sebelumnya, pemerintah mengumumkan bahwa mulai pukul 14.30 WIB (0730 GMT) hari Sabtu, 3 September 2022, harga pertalite berubah dari Rp7.650/liter menjadi Rp10.000/liter, solar bersubsidi daro Rp5.150/liter menjadi Rp6.800/liter, dan pertamax nonsubsidi daro Rp12.500/liter menjadi Rp14.500/liter.

Prof. Imron mengatakan keberadaan energi berbahan fosil sangatlah terbatas, dan emisi karbondioksida justru berdampak buruk. Ia pun mengingatkan komitmen internasional pemerintah untuk mereduksi emisi karbon hingga 30 persen. Komitmen itu akan sulit terealisasi jika APBN terus terkunci hanya untuk memberikan subsidi BBM.

Karena itu, kenaikan harga BBM ini menjadi momentum strategis untuk mengalihkan atau setidak-tidaknya membaurkannya dengan energi terbarukan. Menurutnya Indonesia sangat memiliki potensi pemanfaatan EBT melimpah sehingga penyesuaian harga BBM perlu dilakukan agar terjadi efisiensi APBN.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengungkapkan bahwa harga minyak mentah hanya satu parameter dalam menentukan besaran subsidi. Pergerakan nilai tukar rupiah dan konsumsi menjadi parameter lain dalam perhitungan subsidi.

Menurut Fabby, harga BBM subsidi yang rendah ikut membuat terjadinya pemborosan dan memberikan contoh mobilisasi tinggi menggunakan mobil pribadi, alih-alih memanfaatkan transportasi umum. “Harga yang disubsidi merangsang konsumsi yang berlebihan,” tutur Fabby.

Penggunaan berlebihan ini berdampak pada sekaratnya pasokan BBM subsidi. Kuota Pertalite dan Solar Subsidi diperkirakan hanya akan cukup sampai pertengahan Oktober 2022 ini, jika tidak ada pembatasan.

PT Pertamina Patra Niaga anak usaha PT Pertamina (Persero) mencatat kuota BBM jenis Pertalite tersisa 3,55 juta kilo liter (kl) sampai akhir Agustus 2022 dari yang ditetapkan tahun ini mencapai 23,05 juta kl.

Dengan kondisi tersebut, pemerintah juga berencana untuk menambah kuota, khususnya untuk penambahan Pertalite mencapai sekitar 5 sampai 6 juta kl. Sementara tambahan kuota Solar Subsidi mencapai 2 juta kl.

Fabby menambahkan disparitas harga antara BBM subsidi dan non subsidi juga bisa terus merongrong kuota BBM. Pembeli akan beralih menggunakan BBM yang murah jika disparitas harga terlalu besar. Kondisi ini akan membuat konsumsi rawan jebol dan subsidi membengkak karena penggunaan terus meningkat. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles