Pengamat: Indonesia perlu strategi baru untuk raih manfaat dana iklim COP29

Jakarta – Para pengamat menilai Indonesia perlu segera menyelaraskan kebijakan nasional agar dapat memanfaatkan peluang pendanaan, yang disepakati pada Pertemuan Konferensi Para Pihak ke-29 (COP-29) tentang Perubahan Iklim yang baru saja selesai, secara maksimal. Walau sepakat pendanaan yang masih jauh dari target.

Menurut kesepakatan COP29, pendanaan iklim dari negara maju akan dimobilisasi sebesar USD 300 miliar per tahun pada 2035, jauh di bawah target USD 1,3 triliun yang diajukan negara berkembang.

“Angka ini mengecewakan. Tanpa dukungan pendanaan yang memadai, sulit bagi negara berkembang untuk mencapai target mitigasi dan adaptasi yang ambisius,” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam Media Briefing COP29, Selasa, 3 Desember.

Fabby menekankan bahwa pendanaan iklim, alih teknologi, dan peningkatan kapasitas adalah kunci utama keberhasilan transisi energi. “Indonesia harus segera merevisi kebijakannya untuk memperkuat posisi dalam memanfaatkan dana-dana tersebut, terutama di sektor energi,” tambahnya.

Peluang di tengah tantangan

Salah satu hasil penting COP-29 adalah pengesahan Paris Agreement Credit Mechanism (PACM), yang membuka peluang perdagangan karbon antarnegara. Mekanisme ini diharapkan dapat mendorong aliran pendanaan hingga USD 1 triliun per tahun pada 2050 secara global.

Arief Rosadi, Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, mengingatkan bahwa efektivitas pasar karbon ini perlu terus dievaluasi. “Pasar karbon bukan solusi ajaib. Ada risiko bahwa fokus pada perdagangan karbon justru mengalihkan perhatian dari pengurangan emisi nyata,” jelas Arief.

Ia menyebut bahwa untuk Indonesia, langkah konkret yang perlu diambil adalah mempercepat transisi energi ke sumber terbarukan dan pensiun dini PLTU batu bara, sebagaimana telah dicanangkan oleh pemerintah.

Arief juga menyoroti kebutuhan investasi besar untuk mencapai net zero emission pada 2050. “Indonesia membutuhkan USD 20–40 miliar per tahun untuk transisi energi, tetapi rata-rata investasi saat ini masih jauh dari angka tersebut,” katanya.

Dengan peluang dana iklim yang kini mulai terbuka, para pakar sepakat bahwa Indonesia harus bergerak cepat. Jika tidak, negara lain yang lebih siap bisa saja mengambil manfaat lebih besar dari pendanaan ini. “COP-29 memberi sinyal bahwa waktu tidak lagi berpihak pada kita. Ini bukan hanya soal dana, tapi soal keberlanjutan masa depan kita,” tutup Fabby. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles