Jakarta – Para pengamat energi desak Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) agar lebih fokus pada investasi energi terbarukan dibandingkan sektor ekstraktif seperti batu bara. Mereka memperingatkan jika Danantara tetap mengutamakan investasi di industri berbasis fosil, Indonesia berisiko mengalami kerugian ekonomi yang besar serta gagal mencapai target net zero emission (NZE) pada 2050.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), Tata Mustasya, dalam pernyataan tertulis, Kamis, 27 Maret, menyampaikan bahwa sejak awal pembentukannya, Danantara telah menuai respons negatif dari publik dan pasar. Hal ini terutama disebabkan oleh anggapan bahwa lembaga tersebut masih berfokus pada industri ekstraktif yang bertentangan dengan komitmen pemerintah dalam transisi energi.
“Jika Danantara ingin membangun kredibilitas dan kepercayaan publik, mereka harus mengambil langkah strategis dengan mengalihkan investasinya ke sektor hijau. Energi terbarukan bukan hanya lebih ramah lingkungan, tetapi juga memiliki prospek ekonomi yang lebih menguntungkan dalam jangka panjang,” ujar Tata.
Ia menbandingkan dengan Temasek, badan investasi milik Singapura, yang telah mengalokasikan sekitar USD 32,6 miliar atau 11 persen dari total portofolionya ke proyek keberlanjutan. Tren ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan pergeseran global menuju ekonomi hijau.
Sementara itu, negara-negara lain di Asia telah lebih dulu menunjukkan komitmen kuat terhadap pengembangan energi terbarukan. China, misalnya, memimpin dunia dalam instalasi tenaga surya dan angin, dengan kapasitas lebih dari 700 gigawatt (GW) pada 2023. Vietnam juga telah memasang 13 GW tenaga surya sejak 2017, didorong oleh kebijakan insentif yang progresif.
Berdasarkan perhitungan SUSTAIN, untuk memenuhi target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada 2025, Indonesia membutuhkan investasi sekitar USD 37 miliar. Dana ini, menurut Tata, seharusnya dapat diperoleh dari pungutan tambahan sektor batu bara yang mencapai USD 23,58 miliar per tahun.
Namun, jika pemerintah tetap mendorong Danantara untuk mendanai proyek-proyek ekstraktif seperti gasifikasi batu bara, maka risiko ekonomi akan semakin besar. Menurut studi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), proyek gasifikasi batu bara berpotensi mengalami kerugian hingga USD 377 juta dan membutuhkan subsidi pemerintah sebesar USD 354 per ton dimethyl ether (DME) yang dihasilkan.
Energy Finance Specialist IEEFA, Mutya Yustika, menekankan bahwa tren investasi global kini semakin mengutamakan aspek keberlanjutan. Jika Indonesia tidak segera mengalihkan fokus investasinya ke energi bersih, negara ini bisa tertinggal dari tren global dan kehilangan peluang investasi besar.
“Investasi di energi terbarukan tidak hanya menguntungkan dari sisi bisnis, tetapi juga mampu memperkuat rantai pasokan industri nasional. Sementara itu, proyek berbasis fosil memiliki risiko tinggi dan semakin sulit mendapatkan pendanaan dari investor global,” kata Mutya.
Komitmen pemerintah terhadap transisi energi sejatinya sudah ditegaskan dalam berbagai forum internasional, termasuk G20. Namun, tanpa implementasi yang nyata, komitmen ini bisa kehilangan kredibilitas di mata dunia. Hingga 2024, kapasitas tenaga surya Indonesia baru mencapai 675 megawatt (MW), jauh dari target 6.500 MW dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2025.
Dalam situasi ini, Danantara memiliki peran krusial untuk membantu Indonesia mencapai target energi bersihnya. Dengan mengalokasikan sumber dayanya ke energi terbarukan, badan investasi ini tidak hanya dapat berkontribusi pada keberlanjutan ekonomi nasional, tetapi juga memperbaiki citra Indonesia di mata investor global.
“Langkah ini tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga memastikan bahwa Indonesia tetap berada di jalur yang benar dalam mencapai NZE pada 2050,” tutup Direktur Eksekutif Transisi Bersih, Abdurrahman Arum. (Hartatik)
Foto banner: shutterstock