Penerapan CCS/CCUS perlu dukungan kepastian hukum

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif bersama Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menyaksikan penandatanganan Joint Study Agreement CO2 Injection for Enhanced Oil Recovery (CCUS-EOR) di Lapangan Jatibarang antara Pertamina PEP dan Japan Oil, Gas and Metals National Corporation (Jogmec) di sela Energy Transition Ministerial Meeting (ETMM) di Nusa Dua, Bali, Selasa (30/8). (Foto: Hartatik)

oleh: Hartatik

Jakarta – Industri hulu minyak dan gas (migas) Indonesia berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari operasi produksi dengan menyiapkan Carbon Capture Storage (CCS) atau Carbon Capture Utility Storage (CCUS). Penerapan teknologi CCS/CCUS akan membantu pencapaian Net Zero Emission (NZE) 2050 dan mendorong produksi migas yang lebih bersih.

Pada IPA Convention & Exhibition Plenary Session II ke-46 bertajuk “Peran dan Komersialisasi CCS/CCUS dalam Memenuhi Target Net Zero Indonesia” di Jakarta Convention Center (JCC) pada 22 September 2022, sejumlah panelis menjelaskan pentingnya CCS- CCUS tentang transisi energi. Bahkan dapat mengurangi emisi karbon hingga 10 persen secara global. Namun, penerapan CCS/CCUS perlu didukung oleh kepastian hukum, kemudahan berusaha, dan kenyamanan fiskal.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji mengatakan, Indonesia sedang dalam tahap transisi energi menuju energi baru terbarukan (EBT).

“Proses transisi energi ini akan memakan waktu lama. Sebelum mencapai itu, industri migas masih memberikan kontribusi yang signifikan dalam memenuhi kebutuhan energi,” ujar Tutuka. Selain itu, lanjutnya, gas memainkan peran penting sebagai sumber energi transisi dengan emisi karbon yang lebih rendah.

Tutuka menambahkan, CCS/CCUS merupakan teknologi penting di masa transisi energi. Pasalnya, teknologi tersebut dapat mendukung penurunan emisi di berbagai sektor industri. Penerapan teknologi CCS saat ini mirip dengan awal ekspor LNG pada awal 1970-an, ketika hanya beberapa negara yang menerapkan teknologi tersebut.

Indonesia, kata Tutuka, saat ini sedang melakukan kajian terkait CCS/CCUS. Terdapat 10 titik studi CCS/CCUS yang tersebar di seluruh Indonesia, baik di lapangan migas, maupun di pabrik-pabrik dengan emisi tinggi.

Dirut Pertamina Hulu Energi (PHE) Budiman Parhusip menyampaikan, skema bauran energi yang tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), persentase energi migas diproyeksikan menurun, namun akan meningkat volumenya. Oleh karena itu, migas tetap memegang peranan penting dalam mendukung pemenuhan energi di era transisi energi.

Selain itu, penyediaan energi minyak dan gas perlu memperhitungkan risiko lingkungan yang ditimbulkannya. Di sinilah CCS/CCUS akan berperan penting sebagai teknologi yang membantu mengurangi emisi karbon di tengah mengejar target produksi. Dari sisi korporasi, pengembangan teknologi CCS/CCUS juga dapat menjadi area bisnis baru bagi Pertamina.

“Aspek teknis saat ini memprioritaskan pengembangan EOR dan IOR untuk meningkatkan penangkapan hidrokarbon dan membangun kemitraan untuk pembangun CCS/CCUS,” kata Budiman.

Terpisah, Oki Muraza, Senior Vice President (SVP) Research and Technology Innovation Pertamina mengungkapkan, ada enam proyek CCS/CCUS yang tengah digarap Pertamina pada saat ini. Menurutnya, keenam proyek tersebut masih dalam tahap proses studi.

“Sejauh ini yang paling memungkinkan adalah memanfaatkan teknologi CCS/CCUS untuk mengimplementasikan mekanisme produksi minyak Enhanced Oil Recovery (EOR). Jadi menginjeksikan CO2 ke reservoir untuk meningkatkan produksi,” kata Oki, di sela-sela diskusi even paralel G20, di Nusa Dua, Senin (29/8).

Dia menambahkan enam proyek yang sedang diusung Pertamina adalah CCS/CCUS Hubs Central Sumatera. Kemudian, proyek CCS for Coal to Dimethyl Ether (DME) Plant di Tanjung Enim (South Sumatera), CCS/CCUS Hubs Kutai and South Asri Basin, CCUS/EGR Gundih, CCUS CO2 – EOR Sukowati dan terakhir CCS di Donggi Matindok (Central Sulawesi).

Apabila CCS dan CCUS diterapkan, kata Oki, akan ada industri baru yang bisa langsung lahir dan bisa memberikan manfaat. “Ini adalah bonus yang kami punya. Ketika kami punya CCUS maka kami akan punya proyek low carbon ammonia ,” katanya.

Namun, Oki mengatakan ada beberapa dukungan yang diperlukan untuk bisa mempercepat implementasi proyek CCUS. Antara lain regulasi dalam implementasi CCS/CCUS dari Menteri ESDM dan Carbon Economy Value (NEK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Foto banner: Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tutuka Ariadji menjadi pembicara diskusi bertajuk “The Role and Commercialization of CCS/CCUS in Meeting Indonesia’s Net Zero Target” IPA Convention & Exhibition Plenary Session II ke-46 secara hybrid di Jakarta Convention Center (JCC) pada 22 September 2022. (Dok IPA)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles