Jakarta – Pembiayaan yang diberikan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) ke sejumlah proyek gas alam cair (LNG) internasional, termasuk di Indonesia, menuai kecaman dari berbagai kalangan. Proyek-proyek yang dibiayai JBIC disebut tidak hanya berdampak buruk pada lingkungan, tetapi juga mengancam kehidupan masyarakat setempat, seperti yang terlihat pada Proyek LNG Donggi-Senoro di Sulawesi Tengah.
Menurut laporan berjudul “Faces of Impact: JBIC dan Japan’s LNG Financing Harms Communities and the Planet,” yang dipublikasikan oleh koalisi organisasi masyarakat sipil, termasuk Friends of Earth Japan, Greenpeace, Walhi, dan lainnya, pendanaan JBIC untuk proyek-proyek energi fosil justru terus meningkat. Laporan yang dipublikasikan pada Kamis, 17 Oktober, ini mengungkap bahwa JBIC telah mengalokasikan dana hingga 18,6 miliar USD sejak 2016 untuk memperluas proyek gas, empat kali lebih besar dibandingkan kontribusi Jepang untuk Green Climate Fund. Hal ini bertentangan dengan janji negara-negara G7 untuk mengakhiri pendanaan proyek energi fosil.
Proyek LNG Donggi-Senoro di Desa Uso, Banggai, yang menelan biaya USD 1 miliar, menjadi salah satu contoh konkret dampak dari pendanaan JBIC. Warga desa, terutama nelayan dan petani, mengalami penurunan pendapatan yang drastis akibat proyek ini. Menurut Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur dari Walhi Nasional, Dwi Sawung tangkapan nelayan menurun hingga sepersepuluh dari hasil sebelumnya.
“Nelayan tidak hanya kehilangan daerah tangkapan mereka, tetapi juga menghadapi penurunan kualitas tangkapan akibat emisi yang dilepaskan kilang LNG. Selain itu, petani juga melaporkan penurunan hasil panen karena polusi dari proyek ini,” ungkap Dwi.
Sebelum proyek tersebut hadir, warga setempat dapat mengelola sumber daya alam mereka secara mandiri, terutama dalam menangkap ikan cakalang. Namun, saat ini mereka dilarang untuk menangkap ikan di sekitar lokasi proyek. Hal ini menyebabkan nelayan lokal kehilangan mata pencaharian mereka.
Tidak hanya nelayan, para petani di Desa Uso juga terkena dampak negatif dari proyek tersebut. Hasil panen kelapa, pisang, jagung, dan cabai mengalami penurunan signifikan. Dampak lingkungan yang merugikan ini telah memicu tuntutan dari masyarakat setempat untuk diberikan kompensasi dan akses kerja di proyek tersebut.
Namun, menurut laporan tersebut, janji pihak pengelola proyek untuk mempekerjakan warga setempat tidak dipenuhi dengan baik. Dari total 570 pekerja, mayoritas berasal dari luar wilayah Sulawesi Tengah, sementara hanya sebagian kecil warga lokal yang dipekerjakan dan itupun dalam posisi yang tidak tetap.
Kasus Proyek LNG Donggi-Senoro hanya satu dari banyak proyek serupa di seluruh dunia yang mendapat pendanaan dari JBIC. Di Bangladesh, proyek PLTG Meghnaghat juga memicu keluhan masyarakat karena menurunnya populasi ikan dan biaya listrik yang meningkat. Sementara di Thailand dan Filipina, proyek-proyek LNG yang didanai JBIC juga menghadapi tudingan terkait pelanggaran lingkungan dan penggusuran warga.
Dengan semakin meningkatnya kritik terhadap peran JBIC dalam mendukung proyek-proyek energi fosil, tuntutan untuk menghentikan pendanaan terhadap proyek-proyek yang merugikan lingkungan dan masyarakat setempat semakin keras. (Hartatik)
Foto banner: shutterstock