Jakarta – Tiga kargo liquefied natural gas (LNG) yang semula dialokasikan untuk ekspor ke Singapura dialihkan ke dalam negeri demi menjamin ketersediaan energi nasional, menurut Kepala SKK Migas Djoko Siswanto, Rabu, 9 April. Menurutnya langkah tersebut diambil karena adanya krisis pasokan gas domestik, di tengah kebutuhan yang meningkat.
Keputusan ini merupakan bagian dari kebijakan realokasi LNG ekspor yang diterapkan oleh pemerintah lewat Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
“Kita sudah putuskan tiga kargo yang sebelumnya untuk Singapura kita alihkan ke domestik. Untuk ekspor ke Singapura, kita maksimalkan pasokannya dari Natuna,” Djoko Siswanto.
Tak hanya kargo yang sebelumnya ditujukan ke Singapura, pemerintah juga telah mengamankan total lima kargo LNG dari kilang-kilang dalam negeri—yakni Tangguh, Bontang, dan Donggi Senoro—yang semula dijadwalkan untuk ekspor.
Djoko mengungkapkan bahwa seluruh volume tersebut kini sudah dialihkan untuk memenuhi kebutuhan dua konsumen utama di dalam negeri, yaitu PT PLN (Persero) dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN).
“Untuk April dan Mei, Alhamdulillah sudah aman. Lima kargo itu dari Tangguh, Bontang, dan Donggi Senoro. PLN dan PGN juga sudah tanda tangan, meski harus beli dengan harga yang sedikit lebih tinggi,” ucapnya.
Harga LNG yang dialokasikan ke dalam negeri memang tidak semurah pasokan regular. Pemerintah mematok harga 17,4% dari ICP (Indonesian Crude Price), lebih tinggi dari harga rata-rata gas domestik sebelumnya.
“Ya memang harganya agak tinggi, karena ini realokasi dari ekspor. Tapi ini langkah yang mau tidak mau harus diambil demi menjaga pasokan,” tambah Djoko.
Dengan strategi realokasi ini, Djoko memastikan bahwa pasokan gas untuk kebutuhan domestik aman setidaknya hingga Juni 2025. Pemerintah tidak akan tergesa-gesa membuka opsi impor, melainkan akan terus memantau dan mengevaluasi kondisi setiap tiga bulan.
“Triwulan kedua, insyaallah aman. Nanti kita lihat lagi triwulan ketiga dan keempat apakah butuh tambahan pasokan impor atau tidak. Evaluasinya kita lakukan setiap tiga bulan,” tuturnya.
Langkah ini sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah lebih memilih memprioritaskan kebutuhan dalam negeri daripada menjaga kuota ekspor, terutama di tengah ketidakpastian produksi dan permintaan energi global.
Produksi gas domestik masih menjadi tantangan besar. Di saat permintaan dari sektor kelistrikan dan industri meningkat, peningkatan output gas tidak bisa dilakukan secara mendadak. Pemerintah pun harus memutar strategi dengan fleksibilitas alokasi ekspor dan penyesuaian kontrak.
Realokasi LNG yang sebelumnya dijadwalkan untuk Singapura merupakan bukti bahwa pemerintah memprioritaskan ketahanan energi dalam negeri di atas kepentingan komersial ekspor jangka pendek. (Hartatik)
Foto banner: Terminal LNG Arun (Sumber: PGN)