Pemerintah dan Uni Eropa beda pendapat soal ketertelusuran minyak sawit

oleh Mansuetus Darto, Pendiri dan Dewan Pengurus Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit*

Pada tanggal 12 September 2024, saya menghadiri pertemuan Joint Task Force (JTF) antara Komisi Uni Eropa, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia. Semua perwakilan masyarakat sipil dari Indonesia dan Malaysia hadir secara daring.

Gugus Tugas ini dibentuk sebagai tanggapan atas Peraturan Deforestasi Uni Eropa yang baru (European Union Deforestation Regulation – EUDR), yang bertujuan untuk memastikan bahwa produk-produk seperti minyak kelapa sawit, kopi, cokelat, karet, dan kayu yang masuk ke negara-negara Uni Eropa tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi.

EUDR pada awalnya akan diberlakukan pada bulan Januari 2025, tetapi Komisi Eropa telah mengusulkan untuk memperpanjang tenggat waktu selama 12 bulan, dengan perusahaan-perusahaan besar diwajibkan untuk mematuhinya paling lambat tanggal 30 Desember 2025, dan perusahaan-perusahaan mikro dan kecil paling lambat tanggal 30 Juni 2026. Peraturan serupa juga telah diterapkan oleh Inggris dan Amerika Serikat.

Dalam pertemuan tersebut, Pemerintah Indonesia menyoroti upaya-upaya yang dilakukannya untuk memenuhi prinsip-prinsip transparansi dan ketertelusuran, atau traceability, dalam produksi kelapa sawit, mulai dari perkebunan sampai ke produk jadi. Pemerintah juga membahas rencananya untuk menerbitkan Surat Tanda Daftar Usaha (STDB) bagi para petani kecil.

Pada tanggal 29 Juni 2023, peraturan EUDR mulai berlaku, memberikan waktu 18 bulan bagi para pelaku usaha untuk mempersiapkan diri. Namun, selama 18 bulan tersebut, pemerintah justru sibuk mengadvokasi penolakan. Alih-alih bekerja untuk memperbaiki tata kelola yang sejalan dengan EUDR.

Meskipun pertemuan JTF ini bersifat antar-pemerintah, perwakilan dari industri kelapa sawit seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia dan perusahaan-perusahaan besar turut hadir, dan menyuarakan kekhawatiran mereka akan pengaruh korporasi terhadap keputusan-keputusan yang berkaitan dengan ketertelusuran, deforestasi, dan transparansi.

Isu ketertelusuran merupakan isu utama dalam EUDR, dimana Uni Eropa mewajibkan setiap produk untuk dapat ditelusuri hingga ke titik di mana buah tersebut diproduksi. Pemerintah Indonesia mempresentasikan sistem dasbor nasionalnya, yang akan menyediakan data yang berkaitan dengan poligon dan titik koordinat.

Namun, perdebatan muncul seputar transparansi, karena Uni Eropa mensyaratkan penggunaan sistem ketertelusuran mereka sendiri untuk produk yang diekspor ke Uni Eropa, sedangkan Indonesia mengusulkan agar Uni Eropa menggunakan data dari sistem dashboard nasional Indonesia.

Uni Eropa mempertahankan pendiriannya, dengan menjelaskan bahwa sistem ketertelusuran dirancang untuk industri di dalam Uni Eropa dan mereka tidak akan mengintegrasikan data ketertelusuran dari negara-negara produsen. Mereka mengakui kekhawatiran Indonesia, namun menegaskan bahwa sistem tersebut memastikan kepatuhan terhadap peraturan mereka.

Pertemuan tersebut diakhiri dengan keputusan bahwa Uni Eropa akan membuat panduan bagi para pelaku usaha untuk mematuhi sistem tersebut, dengan diskusi lebih lanjut mengenai rancangan panduan yang direncanakan dalam beberapa bulan ke depan sebelum peraturan tersebut diberlakukan.

Saya menekankan perlunya Pemerintah Indonesia untuk lebih melibatkan masyarakat sipil dalam menanggapi EUDR, terutama petani kecil yang bekerja di tingkat akar rumput. Sejauh ini, partisipasi masyarakat dalam diskusi-diskusi tersebut masih sangat terbatas, dan hal ini merupakan kekeliruan yang sangat penting.

Ibu Sahli Musdhalifah, Ketua Komite Pengarah Dasbor Data dan Informasi Nasional untuk Komoditas Berkelanjutan dan staf ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, menyatakan keyakinannya bahwa Indonesia dapat memenuhi standar perlindungan hutan Uni Eropa. Salah satu inisiatif utama adalah dasbor nasional, yang akan melacak asal-usul produk hingga ke koordinat peta.

Namun, saya yakin Indonesia menggunakan kebijakan perlindungan datanya untuk menghindari transparansi penuh, meskipun Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa data yang terkait dengan Hak Guna Usaha (HGU) harus terbuka untuk umum.

EUDR bertujuan untuk meningkatkan tata kelola kelapa sawit dengan secara tegas melarang produk-produk yang terkait dengan deforestasi untuk masuk ke Uni Eropa. Semua produk harus menjalani verifikasi asal usul melalui teknologi pemetaan lahan seperti geospasial, geolokasi, atau GPS. Untuk petani kelapa sawit kecil, perkebunan di bawah empat hektar, harus menyediakan titik koordinat, sementara perkebunan yang lebih besar harus menyediakan data poligon. Selain itu, para pelaku industri harus membuktikan bahwa tidak ada deforestasi yang terjadi di perkebunan mereka sejak tahun 2020.

Selain deforestasi, EUDR juga menetapkan beberapa persyaratan bagi industri kelapa sawit Indonesia. Pertama, perusahaan harus menawarkan harga yang adil kepada petani, memastikan bahwa mereka tidak dieksploitasi. Kedua, mereka diwajibkan untuk memberikan pelatihan mengenai praktik-praktik pengelolaan terbaik kepada para petani atau masyarakat sekitar. Ketiga, para pelaku industri harus membuat laporan uji tuntas mengenai tata kelola kelapa sawit yang berkelanjutan dan adil, sejalan dengan persyaratan hukum EUDR.

Meskipun peraturan-peraturan ini dirancang untuk melindungi lingkungan, peraturan-peraturan ini juga menguntungkan petani kecil dengan mempromosikan produk-produk berkualitas tinggi dan dapat dilacak yang dapat memasuki pasar Eropa. Banyak petani kelapa sawit yang sudah memenuhi standar EUDR, dan tidak terlibat dalam deforestasi. Bahkan, beberapa di antaranya secara aktif melakukan konservasi hutan. Para petani ini siap dan ingin sekali peraturan EUDR diimplementasikan, karena mereka melihatnya sebagai peluang untuk mengakses pasar Eropa.

Pemerintah saat ini harus mendorong perusahaan perkebunan untuk lebih memperhatikan petani kecil, dan memastikan bahwa mereka tidak tertinggal dalam masa transisi ini.

Secara historis, petani telah digunakan sebagai alat diplomasi oleh perusahaan ketika dihadapkan pada tekanan pasar, dan hal ini harus diubah. Petani kecil sangat penting bagi keberhasilan industri kelapa sawit Indonesia, dan kepentingan mereka harus menjadi yang terdepan dalam diskusi-diskusi ini. Kebijakan perusahaan dan pemerintah harus berpihak kepada mereka, dan tidak hanya mengandalkannya sebagai sarana untuk memenuhi peraturan internasional.

Sebagai kesimpulan, meskipun EUDR memberikan tantangan bagi industri kelapa sawit Indonesia, ia juga menawarkan peluang untuk reformasi, transparansi, dan perlindungan bagi para petani kecil. Peraturan-peraturan yang akan datang akan membutuhkan kerja sama antara pemerintah, industri, dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa transisi ini berjalan dengan lancar dan produksi kelapa sawit menjadi lebih berkelanjutan dan transparan. Dengan implementasi yang tepat, EUDR dapat menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam tata kelola kelapa sawit di Indonesia, memberikan manfaat bagi lingkungan dan petani kecil yang menggantungkan hidupnya pada industri ini.

*Artikel ini pertama kali diterbitkan di Tempo English dengan judul: “Government and EU Differ on Palm Oil Traceability”

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles