Oxfam: Australia dan Selandia Baru harus mempercepat aksi iklim di Pasifik

Jakarta – Oxfam menyambut baik pengakuan para pemimpin Pasifik baru-baru ini bahwa untuk mengatasi krisis iklim diperlukan transisi yang adil dan merata dari bahan bakar fosil. Namun, organisasi ini menekankan perlunya kerangka waktu yang jelas dan target berbasis ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan mendesak di kawasan Asia Pasifik.

Kepala Eksekutif Oxfam Australia Lyn Morgain mengatakan: “Keengganan untuk berkomitmen pada jadwal untuk penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara cepat berarti bahwa para pemimpin masih belum serius untuk tetap berada di dalam 1,5 derajat pemanasan global, akibatnya penghidupan dan budaya begitu banyak orang di seluruh Pasifik terancam”.

Pertemuan Para Pemimpin Forum Kepulauan Pasifik diadakan pada tanggal 6-10 November di Kepulauan Cook. Masyarakat Kepulauan Pasifik menyerukan agar Australia secara dramatis meningkatkan pendanaan iklim, mengakhiri subsidi bahan bakar fosil, dan berkomitmen pada transisi yang adil menuju Pasifik yang bebas bahan bakar fosil.

Laporan terbaru Oxfam yang berjudul ‘If you break it, fix it: Australia’s global obligations for a just climate transition,’ mengungkapkan bahwa pengeluaran Australia untuk aksi iklim dalam negeri enam kali lebih besar daripada dukungannya terhadap inisiatif global, sehingga gagal memenuhi tanggung jawabnya untuk membantu negara-negara berkembang seperti Pasifik dalam mengatasi dampak perubahan iklim.

Morgain menyuarakan keprihatinan tentang potensi tekanan dari produsen bahan bakar fosil terhadap negara-negara Pasifik dan Pemerintah Australia serta Selandia Baru untuk meredam tuntutan agar transisi cepat dilakukan. Meskipun mengakui komitmen Australia terhadap dana iklim, Oxfam mendesak kejelasan mengenai kontribusi yang sebenarnya, dengan menyoroti pentingnya Australia memenuhi bagiannya yang adil, yang diperkirakan mencapai AUD 4 miliar (IDR 41 triliun) per tahun.

Analisis Oxfam mengungkapkan bahwa komitmen Australia saat ini sebesar AUD 2 miliar (IDR 20.4 triliun) masih jauh dari kontribusi yang seharusnya, dan menekankan perlunya mengalihkan dana sebesar AUD 11 miliar (IDR 112.4 triliun) yang dihabiskan untuk subsidi bahan bakar fosil setiap tahunnya. Australia, penghasil emisi per kapita yang signifikan, menghadapi kritik karena tidak memikul tanggung jawabnya dalam perjuangan global melawan perubahan iklim.

Di Selandia Baru, Oxfam menyatakan keprihatinannya atas rencana potensial untuk membuka kembali eksplorasi lepas pantai untuk minyak dan gas fosil. Langkah ini, yang tidak konsisten dengan komitmen Pemerintah Pasifik untuk beralih dari bahan bakar fosil, menyoroti perlunya penurunan produksi bahan bakar fosil yang terkelola demi energi terbarukan dan industri bersih.

Seperti yang disuarakan oleh Oxfam, masyarakat sipil Pasifik menyerukan kepada Australia dan Selandia Baru untuk menentang industri bahan bakar fosil. Seruan ini juga ditujukan kepada para pemimpin politik yang mengambil sikap tegas di COP28 di Dubai untuk mengakhiri produksi bahan bakar fosil secara global. Selain itu, Oxfam menekankan pentingnya mekanisme pendanaan yang secara langsung memberikan manfaat bagi masyarakat lokal di Pasifik, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai keampuhan dana yang telah diumumkan seperti Dana Iklim Hijau dan Kemitraan Pendanaan Infrastruktur Iklim Pasifik.

Australia dan Selandia Baru menghadapi tekanan yang semakin besar untuk meningkatkan pendanaan dan menunjukkan komitmennya terhadap aksi iklim di Pasifik. Urgensi ini digarisbawahi oleh dampak iklim yang sangat parah terhadap masyarakat Pasifik, yang mendesak kedua negara untuk menerjemahkan retorika ke dalam kepemimpinan yang konkret dan berani. (nsh)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles