Jakarta- Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) minggu ini membantah bahwa kejadian banjir bandang di Desa Bukit Subur, Binuang, Sukaraja, Tengin Baru, Karang Jinawi, Kelurahan Pemaluan, dan Kelurahan Sepaku Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) bukanlah di Kawasan Inti Pusat Pemerintah (KIPP). Bahkan penyebab banjir dinilai semata karena faktor alam seperti curah hujan tinggi dan pengaruh pasang surut air laut.
“Banjir yang terjadi berada di luar lokasi KIPP, tapi masuk dalam Kawasan IKN dan berdampak pada jalan menuju KIPP,” kata Pungky Widiaryanto, Direktur Pengembangan Pemanfaatan Kehutanan dan Sumber Daya Air Otorita Ibu Kota Nusantara saat acara Ngaso (Ngobrol Asik Online) dengan tema “GenZ: Ngobrolin Banjir Di IKN Nusantara”, yang diselenggarakan virtual oleh Forest Watch Indonesia (FWI), Selasa.
Menurut Pungky ada tujuh desa terdampak banjir yang berada di luar KIPP yakni Karang Jinawi, Sepaku, Bukit Raya, Tengin Baru, Sukaraja, Bumi Harapan dan Pamaluan. Dari evaluasi pihaknya bahwa banjir disebabkan karena topografi Kecamatan Sepaku yang kondisinya bergelombang, ditemukan beberapa ruas sungai kapasitasnya kurang memadai akibat bangunan rumah yang melintang badan sungai, ditemukan bottleneck lainnya akibat kapasitas gorong-gorong serta jembatan yang kurang memadai. Lalu masyarakat banyak yang tinggal di daerah paparan banjir, terjadi erosi lahan dan sedimentasi di bagian hilir.
“Kejadian banjir terjadi di beberapa titik sepanjang jalan provinsi menuju KIPP dan merupakan kejadian tahunan. Sementara KIPP terletak di elevasi lebih dari 15 meter dan berbukit-bukit, serta tidak terdapat historis banjir,” imbuhnya.
Direktur Eksekutif FWI, Mufti Fathul Barri mengatakan, banjir bandang yang terjadi 17 Maret lau di PPU sebagai lokasi IKN diakibatkan bukan hanya karena tingginya curah hujan, kelerengan dan topografi. Melainkan juga sebagai respon terhadap rusaknya lingkungan akibat praktek para aktor dalam tata kelola sumber daya hutan dan lahan selama ini di IKN khususnya, Kaltim umumnya.
“Forest Watch Indonesia mencatat, di keseluruhan Kawasan IKN terdapat 83 perusahaan tambang, 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan 4 perusahaan kehutanan. Praktik industri ekstraktif ini telah banyak mengubah lanskap hutan dan lahan yang sekarang ditunjuk sebagai Kawasan IKN. Setidaknya dalam kurun waktu 2018-2021 di Kawasan IKN telah terjadi kehilangan hutan alam seluas 18 ribu hektare atau setara 1,6 kali luas Kota Bogor,” terang Mufti.
Menanggapi hal tersebut, menurut Pungky, Kementerian PUPR telah memiliki skema pengendalian banjir IKN pada 2024. Untuk di dalam KIPP akan dibangun empat kolam retensi, 29 titik cekdam, 200 titik outlet/outfall, 10 bottom controller dan 365 peil banjir. Sedangkan di luar KIP, skemanya dengan melakukan normalisasi sungai, perkuatan tebing, pompa dan pintu air serta pembenahan gorong-gorong.
Terkait penjelasan itu, peserta webinar, Salsabila memaparkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) PPU bahwa dalam kurun waktu 2019-2022 sedikitnya 15 kali terjadi banjir di Sepaku. Ia pun mempertanyakan kenapa pemilihan lokasi IKN juga merupakan daerah langganan banjir, tidak berbeda jauh dengan ibu kota Jakarta.
Selanjutnya, ia melakukan wawancara dengan warga setempat pada awal 2021 bahwa sungai tidak lagi bisa dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari semenjak industri terkait IKN masuk.
“Semenjak industri IKN masuk tambah mengganggu sungai, karena industri-industri itu memotong alur sungai untuk dibendung,” ungkap Salsabila.
Peserta webinar lainnya, Kamila menyayangkan pihak otorita IKN yang sama sekali tidak menampilkan informasi banjir maupun ucapan duka cita terhadap korban banjir pada media sosial IKN. Sehubungan itu, Pongki mengatakan tidak semua informasi bisa dipublikasikan di media sosial IKN. (Hartatik)
Foto banner: Sekretaris Kabinet RI