oleh Nabiha Shahab
Jakarta – Wilayah Indonesia akan memasuki musim kemarau tahun ini mulai bulan April dan Juni, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Kabar baiknya, tahun ini tidak ada fenomena cuaca ekstrim yang akan menyebabkan kemarau parah yang berpotensi menyebabkan bencana kebakaran dan asap.
Setiap musim kering tiba, masyarakat sekitar wilayah gambut biasanya mulai merasa resah. Bencana yang hadir hampir tiap lima tahunan itu pada tahun 2015 berlangsung selama lebih dari tiga bulan dan sampai mengganggu negara tetangga Singapura dan Malaysia. Akankah kabut asap tiba tahun ini? Bila datang, akankah kita siap?
“Walau di 2019 ada juga (bencana asap) tapi intensitasnya tidak separah (tahun 2015), karena kita telah punya strategi yang mengedepankan pencegahan,” kata Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Dodo Gunawan kepada tanahair.net.
Pencegahan lebih baik daripada mengatasi bencana setelah terjadi.
Pada tahun 2015, kebakaran hutan dan lahan mencapai lebih dari 2,6 juta hektar, sebagian besar di Sumatra dan Kalimantan. Bahkan penelitian dari Universitas Harvard memperkirakan peristiwa di tahun 2015 itu menyebabkan kematian lebih dari 100,000 orang di Indonesia, Singapura dan Malaysia. Menurut BNPB, korban jiwa di Sumatra dan Kalimantan mencapai 24 orang.
“Di 2015 kita melihat kebakaran hutan sangat parah – dan bahkan kalau saya ikuti – itulah sebenarnya titik balik kita melihat dari peristiwa tersebut dampak dari kebakaran hutan. Pemerintah sudah mulai merubah strateginya kalau selama ini mungkin lebih kepada penanggulangan, dan dari pengalaman 2015 itu titik balik (strategi) kita lebih pada pencegahan-pencegahan. Kalau sudah terjadi (bencana) kan lebih mahal,” kata Dodo Gunawan.
Upaya pencegahan melibatkan masyarakat
“Saat memasuki musim kemarau bulan April – Juni 2022, BRGM melakukan antisipasi kebakaran dengan melakukan kegiatan Operasi Pembasahan Gambut Rawan Kekeringan (OPGRK). Ini merupakan operasi pembasahan gambut yang kering dan rawan terbakar, serta mengendalikan kerusakan ekosistem gambut dari kebakaran sehingga tidak menyebabkan kerusakan yang lebih luas,” kata Kepala Kelompok Kerja Kerjasama, Hukum, dan Hubungan Masyarakat, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Didy Wurjanto kepada tanahair.net.
Menurutnya terdapat tiga kegiatan operasi pembasahan lahan gambut dilakukan, yaitu operasi pembasahan rutin, operasi pembasahan gambut terbakar, dan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Operasi pembasahan rutin, dilaksanakan di wilayah-wilayah restorasi gambut dan wilayah yang telah terbangun infrastruktur pembasahan gambut.
Dalam operasi pembasahan rutin, upaya pencegahan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat yang telah terlatih mengoperasikan sekat kanal, dan sumur bor. Kelompok masyarakat terkait dan terlatih melakukan patroli lapangan serta memelihara kondisi sekat kanal, dan sumur bor yg menjadi tanggung jawabnya. Sekat kanal dibangun untuk menahan laju keluarnya air gambut ke aliran sungai atau aliran air lainnya dan menjaga lahan gambut basah lebih lama. Sedangkan sumur bor adalah sumur-sumur yang dipasang di tengah lahan gambut dan dapat digunakan untuk membasahi gambut atau sebagai sumber air dalam upaya pemadaman api.
Menurut catatan BRGM, dalam rentang waktu 2017-2022 sudah terbentuk 746 Desa atau Kelurahan Mandiri Peduli Gambut. Dalam program Desa Mandiri Peduli Gambut (DMPG) terdapat delapan kegiatan utama yang salah satu tujuannya adalah menyiapkan masyarakat dalam pelaksanaan restorasi gambut, dan menghadapi kemungkinan kebakaran, melalui kegiatan Sekolah Lapang Petani Gambut. Dalam program ini, masyarakat dilatih untuk mengelola lahan tanpa bakar dan diberikan pendampingan untuk mengintegrasikan restorasi gambut kedalam perencanaan pembangunan desa serta memperkuat respon tanggap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di tingkat desa melalui penguatan kelembagaan dan kerjasama antar desa untuk tanggap karhutla.
“Pada tahun 2021, kami telah melakukan pemeliharaan dan perbaikan infrastruktur pembasahan gambut untuk menjaga fungsinya agar siap dioperasikan. Kami juga melakukan peningkatan kapasitas masyarakat melalui sekolah lapang dengan membuka lahan tanpa bakar dan memberikan bantuan revitalisasi ekonomi masyarakat berbasis lahan tanpa bakar,” kata Didy Wurjanto.
“TMC dilaksanakan sesuai dengan rekomendasi atas analisis dari pemantauan tinggi muka air, dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan unit pelaksana teknologi modifikasi cuaca Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN),” lanjutnya.
Dalam upaya pencegahan BRGM juga mengembangkan platform Peatland Restoration Information Management System (PRIMS). “Sistem ini berguna sebagai sistem informasi untuk memantau kegiatan restorasi, mengkomunikasikan capaian restorasi gambut, seperti infrastruktur pembasahan gambut, program revitalisasi serta DMPG. Kemudian apabila terdapat daerah gambut yang terbakar, cepat dapat dipadamkan karena gambut yang terbakar hanya membakar permukaan yang kering karena kemarau,” ujar Didy.