Jakarta – Mikroalga, yang dikenal dengan kemampuannya menyerap karbon dioksida (CO2), kini menjadi fokus dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Para peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) telah mengembangkan teknologi berbasis mikroalga yang dinamakan Microforest 100.
Teknologi ini menawarkan solusi inovatif untuk dekarbonisasi di fasilitas publik. Teknologi Microforest 100 resmi diluncurkan di Masjid Raya Syeikh Zayed, Solo. Acara ini menandai langkah penting dalam penggunaan mikroalga untuk mengurangi emisi karbon di fasilitas publik. Direktur Masjid Raya Syeikh Zayed, Munajat, PhD menyatakan, peluncuran Microforest 100 ini sekaligus memantau sejauh mana mesin bisa bertahan menyerap karbon untuk nantinya menjadi bahan pengembangan lebih lanjut.
Teknologi Microforest 100 dikembangkan oleh Prof Ir Arief Budiman, D Eng dan Dr Eko Agus Suyono dari Pusat Unggulan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUIPT) Microalgae Biorefinery UGM. Prototipe Algaetree yang mereka rancang telah ditingkatkan menjadi produk Microforest 100 berkat kolaborasi dengan startup PT Algatech Nusantara.
CEO Algatech Nusantara, Rangga Wishesa menjelaskan, instalasi setinggi dua meter tersebut berfungsi untuk menyerap karbon di udara dengan teknologi fotobioreaktor.”
Keunggulan teknologi microforest 100
Microforest 100 mampu menyerap karbon dioksida dalam jumlah besar, setara dengan lima pohon dewasa berumur sekitar 15 tahun. “Mikroalga dapat menyerap karbon dioksida 30-50 kali lipat lebih banyak dibanding tanaman terestrial,” ungkap Rangga dalam keterangan tertulis, Jumat, 28 Juni.
Sistem ini dilengkapi dengan desain dan sensor yang optimal untuk memantau kondisi kultivasi, memastikan efisiensi dalam penyerapannya.
Wakil Walikota Surakarta, Teguh Prakosa, bersama perwakilan dari Uni Emirat Arab (UEA), turut hadir dalam peluncuran ini. Jika terbukti efektif, Microforest 100 direncanakan akan dipasang di tempat-tempat ibadah besar lainnya seperti Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Dr Eko Agus Suyono melihat potensi besar mikroalga untuk dikembangkan lebih lanjut. “Mikroalga masih memiliki potensi agar dikembangkan menjadi produk olahan lain, seperti bahan bakar bioenergi. Harapannya, potensi tersebut dapat dieksplorasi lebih lanjut untuk dimanfaatkan oleh masyarakat luas,” ujarnya.
Penempatan teknologi ini di fasilitas publik seperti masjid yang ramai pengunjung diharapkan dapat mengurangi emisi karbon secara signifikan, berkontribusi pada komitmen global untuk mengatasi perubahan iklim.
“Dengan begitu, pengurangan emisi karbon dapat berlangsung secara masif dalam mengatasi perubahan iklim,” tutup Eko Agus Suyono. (Hartatik)
Foto banner: Peneliti dari Pusat Unggulan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUIPT) Microalgae Biorefinery UGM mengembangkan teknologi Microfest 100 dalam penggunaan mikroalga untuk mengurangi emisi karbon di fasilitas publik. (Sumber: UGM)