Menguji keputusan pencabutan izin pertambangan

oleh: Eko Prasetyo

Jumat, 12 Agustus 2022 lalu, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyatakan, dalam rangka penataan lahan, pemerintah telah mencabut 2.065 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas 3,1 juta hektar.

Pencabutan izin tersebut dilatarbelakangi oleh dugaan pemerintah atas pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha tambang. Pelanggaran yang dimaksud adalah sebagian dari IUP tersebut digadaikan di bank. Menurutnya, izin ini tidak boleh digadaikan di bank.

Selain itu, banyak dari IUP dijual kembali dan dipakai untuk “bermain” di sektor surat berharga, namun capital gain dari surat berharga tersebut tidak dipakai untuk membangun usaha yang sudah berizin. Terakhir, menurutnya banyak juga IUP yang mangkrak, bahkan tidak bertuan.

Namun yang menjadi persoalan adalah, tepatkah lembaga yang melakukan evaluasi sekaligus melakukan pencabutan izin tersebut berada di Menteri Investasi/BKPM? Serta apakah alasan yang digunakan untuk melakukan pencabutan IUP sudah sejalan dengan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan? Lalu, langkah apa yang seharusnya ditempuh, baik oleh pengusaha maupun pemerintah agar kejadian serupa tidak terulang di masa yang akan datang?

Lembaga berwenang

Mengingat pencabutan izin yang berklasul IUP, sekilas masyarakat—terlebih pengusaha—akan berpandangan bahwa lembaga yang berwenang dan bertanggungjawab adalah Kementerian ESDM. Namun, pemerintah yang diwakili oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan bahwa semua proses perizinan saat ini telah terpusat di Kementerian Investasi/BKPM melalui Online Single Submission (OSS).

Pengalihan kewenangan ini tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (selanjutnya disebut Inpres No. 1/2022). Diktum kedua angka 23 Inpres a quo menginstruksikan Menteri Investasi/BKPM untuk mendukung penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional dalam proses perizinan berusaha melalui sistem OSS.

Selain itu, terdapat Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi yang mengatribusikan kewenangan lembaga ini kepada Menteri Investasi/BKPM.

Tugas lembaga ini yang pada pokoknya bertugas mendorong percepatan usaha bagi sektor-sektor yang memiliki karakteristik cepat menghasilkan devisa, menghasilkan lapangan pekerjaan, dan pengembangan ekonomi regional/lokal.

Sementara itu, Kementerian ESDM saat ini sekedar berfokus pada perumusan perumusan dan penetapan kebijakan di bidang pembinaan, pengendalian, dan pengawasan minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, mineral dan batubara, energi baru, energi terbarukan, konservasi energi, dan geologi.

Dari perubahan pengaturan kewenangan ini, pemerintah secara terang ingin melakukan percepatan kemudahan berusaha. Pengalihan kewenangan ini juga mengisyaratkan pemerintah ingin menjadikan izin sebagai wadah kemandirian bagi masyarakat Indonesia dengan mekanisme investasi.

Alasan pencabutan

Pencabutan izin merupakan salah satu dari tiga jenis sanksi administratif yang harus diberikan secara bertahap kepada pemegang IUP yang melanggar ketentuan. Jenis sanksi yang dimaksud tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 96 Nomor 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan (selanjutnya disebut PP No. 96/2021) yang berupa: (i) peringatan tertulis; (ii) penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi atau Operasi Produksi; dan/atau (iii) pencabutan IUP, IUPK, IPR, SIPB, atau IUP untuk Penjualan.

Sementara itu, jenis pelanggaran yang dapat dijatuhi sanksi-sanksi tersebut setidaknya diatur dalam 31 ketentuan dalam PP No. 96/2021. Beberapa di antaranya adalah pasal 10 ayat (1) mengenai larangan memindahtangankan IUP kepada pihak lain tanpa persetujuan dari Menteri, pasal 13 ayat (1) tentang larangan kepada pemegang IUP untuk mengalihkan kepemilikan saham tanpa persetujuan Menteri.

Pasal 48 ayat (1) yang menjelaskan kewajiban melakukan eksplorasi lanjutan setiap tahun. Pasal 49 ayat (1) kewajiban memasang tanda batas WIUP pada tahap kegiatan Operasi Produksi. Pasal 65 ayat (1), kewajiban bagi pemegang Izin Pertambangan Rakyat (IPR) melakukan kegiatan penambangan dalam jangka waktu tiga bulan setelah IPR diterbitkan.

Pasal 137 ayat (1), kewajiban pemegang IUP atau IUPK menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional. Pasal 145 ayat (3) dan Pasal 146 ayat (3) tentang kewajiban melakukan reklamasi.

Dari beberapa kewajiban tersebut, tidak ditemukan kewajiban yang menjelaskan dalam jangka waktu tertentu, wajib bagi pemegang IUP dan/atau IUPK untuk memulai kegiatan pertambangan. Berbeda dengan pemegang IPR yang diwajibkan untuk memulai kegiatan pertambangan paling lambat tiga bulan sejak IPR diterbitkan.

Kekosongan ketentuan ini yang diduga menjadi penyebab terlambatnya atau bahkan banyak IUP yang mangkrak bertahun-tahun dan tidak kunjung diusahakan, bahkan tidak ditemukan klausul yang memerintahkan pemegang IUP dan/atau IUPK untuk melakukan kegiatan penyelidikan umum atau prospeksi.

Selain itu, penjatuhan sanksi berupa pencabutan izin secara serta merta tanpa melalui tahapan pemberian sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan hanya dapat dijatuhkan apabila pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang: (i) melakukan pelanggaran pidana berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; (ii) hasil evaluasi menteri atas pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta tidak menerapkan kaidah teknik Pertambangan yang baik; atau (iii) pemegang IUP, IUPK, lPR, atau SIPB dinyatakan pailit (Pasal 188 PP No. 96/2021).

Berdasarkan pengaturan tersebut, alasan pencabutan IUP yang dilakukan pemerintah dengan dalih pemegang IUP (dan izin lainnya selain IPR) tidak melakukan kegiatan pertambangan adalah tidak relevan.

Langkah penanganan dan pencegahan

Pertambangan menyediakan beragam manfaat apabila dikelola dengan benar. Kegiatan yang memerlukan tenaga manusia ini tentu akan membuka lapangan pekerjaan, yang harapannya dapat menekan tingkat pengangguran di tingkat lokal. Hasil besar yang diperoleh dari kegiatan ini juga akan meningkatkan pendapatan, baik pendapatan bagi daerah maupun negara melalui devisanya. Namun, dua hal ini akan dicapai apabila kegiatan pertambangan dapat segera dilakukan apabila izin telah didapatkan.

Masalahnya, (secara normatif) salah satu penyebab banyak lahan pertambangan yang tidak kunjung dilakukan kegiatan pertambangan adalah kekosongan hukum yang memaksa pemegang IUP/IUPK untuk segera melakukan kegiatan pertambangan.

Kemudian, pemerintah secara tidak konsisten mengambil langkah pencabutan izin tanpa melalui dua sanksi administrasi (peringatan tertulis dan penghentian sementara) dengan dalih banyak pengusaha yang sudah memegang izin, namun tidak segera mengusahakannya. Pencabutan izin secara merta ini ditakutkan akan merusak iklim investasi dan berusaha di sektor minerba.

Lalu, langkah yang dapat ditempuh untuk menengahi masalah ini adalah, pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap sistem pemberian IUP, terutama dari penataan regulasi dengan cara memastikan tidak ada klausul yang dijadikan celah hukum dan memperketat kualifikasi pihak-pihak yang memohon izin.

Selanjutnya, izin yang sudah dicabut dan pemegang izin sebelumnya tidak berusaha untuk mengambil langkah hukum, bisa dilakukan lelang. Mekanisme ini diakui dalam pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Pasal 17 ayat (3) PP No. 96/2021.

Mekanisme lelang ini diharapkan dapat menjadi jalan keluar dalam pencarian pengusaha yang berkualitas, memenuhi syarat, bersungguh-sungguh mengusahakan izinnya.

Kemudian, bagi pengusaha yang terlanjur dirugikan dengan langkah pemerintah ini, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan alasan pemerintah tidak menjalankan diskresi sebagaimana yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan, yakni sejalan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dan bertentangan dengan peraturan.

Foto banner: Parilov/shutterstock.com

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles