Jakarta – Transisi energi sering kali difokuskan pada pengurangan emisi karbon atau peningkatan efisiensi energi, tetapi aspek kesetaraan dan inklusivitas terabaikan dalam perencanaan kebijakan ini. Padahal, kedua aspek tersebut merupakan elemen penting yang harus dipertimbangkan dalam transisi energi, terutama di negara seperti Indonesia yang memiliki keragaman sosial, ekonomi, dan geografis.
Raditya Wiranegara, Manajer Riset Institute for Essential Services Reform (IESR), menggarisbawahi pentingnya memasukkan aspek kesetaraan dan inklusivitas dalam diskusi transisi energi. Menurutnya, diskusi ini saat ini masih terlalu terfokus di tingkat elit dan nasional, sementara isu transisi energi memerlukan perhatian yang lebih luas, terutama di level sub-nasional.
“Pemerintah sub-nasional harus mulai menyiapkan kapasitas institusional mereka untuk menghadapi tantangan transisi energi, karena kebijakan di tingkat ini akan sangat menentukan bagaimana transisi tersebut diterapkan secara adil dan inklusif. Selain itu, pemetaan alternatif aktivitas perekonomian bagi masyarakat lokal, terutama mereka yang bekerja di sektor informal yang keberadaannya berkelindan dengan sebuah industri, seperti industri pertambangan, harus menjadi bagian integral dari perencanaan transisi energi,” ujar Raditya.
Menurut Raditya, selain pada pengurangan penggunaan bahan bakar fosil, kebijakan transisi energi juga perlu mempertimbangkan mitigasi dampak sosial-ekonomi bagi komunitas yang terdampak. Contohnya, pekerja tambang batubara, yang mungkin kehilangan mata pencaharian karena berkurangnya permintaan batubara seiring dengan berkurangnya utilisasi PLTU. Mengingat bahwa transisi energi akan mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat, baik di level perkotaan maupun pedesaan, kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat kelas menengah harus mendapatkan perhatian khusus dalam pembuatan kebijakan.
“Kelompok-kelompok ini sering kali merasakan dampak yang lebih besar dari perubahan kebijakan tanpa adanya perlindungan yang memadai. Oleh karena itu, kebijakan transisi energi perlu memasukkan kesetaraan akses, baik dalam kesempatan kerja, pendidikan, maupun manfaat ekonomi dari energi terbarukan,” kata Raditya.
Analisis IESR dalam studi ‘Navigating Just Energy Transition Together – Shared learnings from South Africa, Indonesia, and Vietnam’ menemukan bahwa langkah-langkah inklusif yang dapat diambil untuk melibatkan semua pihak dalam proses transisi energi, termasuk membuka ruang dialog sejak tahap awal dengan berbagai pihak yang terkena dampak, serta membentuk dewan tripartit yang melibatkan pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk memastikan transisi yang adil dan berkeadilan. Para pemangku kepentingan, baik dari sektor swasta maupun filantropi, juga perlu memainkan peran penting dalam mendukung investasi dan proses yang mendorong partisipasi masyarakat dalam transisi ini.
“Dalam menghadapi tantangan transisi energi, keseriusan dan ketegasan dari para pemimpin tertinggi seperti Presiden Prabowo sangat dibutuhkan. Tanpa adanya upaya serius dari semua pihak, termasuk pemerintah pusat dan sub-nasional, tujuan transisi energi berkeadilan yang di antaranya untuk mempersempit kesenjangan sosial dan ekonomi, akan sulit dicapai,” kata Raditya.
Acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024 yang akan berlangsung pada 4-6 November 2024 dapat menjadi momen penting untuk mendiskusikan arah kebijakan transisi energi Indonesia sehingga mampu menyediakan energi terbarukan untuk sektor industri. Tema IETD 2024 adalah “Merealisasikan Transisi Energi yang Adil dan Terarah”. Masyarakat Indonesia dapat terlibat dalam acara IETD 2024 dengan mendaftar di ietd.info.
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi media partner tanahair.net dan Institute for Essential Services Reform (IESR)
Sumber:
https://iesr.or.id/mewujudkan-partisipasi-inklusif-dalam-transisi-energi/
https://iesr.or.id/infografis/menentukan-seberapa-inklusif-transisi-energi/
Gambar banner yang dibuat oleh DALL-E dari OpenAI, yang dihasilkan oleh ChatGPT