Menanti arah kebijakan transisi energi ala Prabowo-Gibran

Jakarta – Beberapa minggu ke depan, Indonesia akan resmi memiliki pemimpin baru dengan dilantiknya Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada Minggu, 20 Oktober 2024. Seiring dengan resminya Prabowo dan Gibran menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia periode 2024-2029, muncul harapan agar transisi energi semakin menggaung.

Dunia, termasuk Indonesia, berada pada masa krisis iklim. Berdasarkan perhitungan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), suhu rata-rata bumi saat ini telah mencapai 1,1 derajat Celcius, mendekati ambang batas 1,5 derajat Celcius yang ditetapkan dalam Persetujuan Paris. Jika suhu bumi melewati batas ini, maka risiko bencana alam akibat perubahan iklim akan semakin intens dan merugikan. Untuk itu, upaya penghentian ketergantungan pada energi fosil, seperti batubara perlu dilakukan dengan mendorong pemanfaatan energi terbarukan.

Sayangnya, dominasi energi fosil masih mengakar di Indonesia. Menurut laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bauran batubara masih tertinggi di bauran energi primer Indonesia, mencapai 40,46 persen pada 2023, disusul minyak bumi sebesar 30,18 persen. Penggunaan batubara memberikan dampak negatif signifikan terhadap lingkungan, seperti emisi gas rumah kaca yang tinggi dan polusi udara. Oleh karena itu, peralihan ke energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan air harus menjadi prioritas untuk mengurangi dampak lingkungan yang merugikan.

His Muhammad Bintang, Koordinator Riset Sumber Daya Energi dan Listrik di Institute for Essential Services Reform (IESR), menyatakan bahwa Indonesia memiliki total potensi teknis energi surya, angin, air, dan biomassa mencapai 7,9 TW dan 7,3 TWh untuk penyimpanan daya hidro terpompa (pumped hydro energy storage, PHES). Sayangnya, potensi besar ini belum dimanfaatkan secara maksimal.

“Untuk itu, pemerintahan di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto perlu meningkatkan ambisinya dalam akselerasi energi terbarukan untuk mencapai target Net Zero Emissions (NZE) 2060 atau lebih awal. Indonesia juga perlu menunjukkan kemauan politik yang lebih kuat dan konsisten, terutama dalam memfasilitasi kebutuhan investasi. Presiden perlu pula secara langsung mengorkestrasi transisi energi yang efektif dengan kebijakan yang komprehensif dan mendorong inovasi, penelitian dan pengembangan teknologi energi terbarukan” ujar Bintang.

His Muhammad Bintang, Koordinator Riset Sumber Daya Energi dan Listrik di Institute for Essential Services Reform (IESR) (Foto: IESR)

Bintang juga menyoroti dua tantangan besar dalam akselerasi energi terbarukan di tengah dominasi batubara. Pertama, ketergantungan Indonesia terhadap batubara sebagai sumber listrik. Kedua, ketergantungan ekonomi daerah penghasil batubara pada sektor tersebut. Studi IESR berjudul “Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim” menemukan bahwa dana bagi hasil (DBH) batubara menyumbang 20 persen dari total anggaran pendapatan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muara Enim, Sumatera Selatan pada 2023 dan 27 persen dari total pendapatan Pemkab Paser, Kalimantan Timur, pada 2013-2020. Namun, kontribusi ekonomi ini tidak signifikan terhadap pendapatan pekerja industri batubara.

“Berkaca dari kondisi tersebut, transisi energi perlu dibarengi kesiapan pemerintah mendorong transformasi ekonomi di daerah penghasil batubara. Perencanaan transformasi ekonomi pasca tambang perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang memiliki efek berganda bagi masyarakat lokal. Selain itu, transformasi infrastruktur kelistrikan juga diperlukan agar lebih kompatibel dengan pemanfaatan energi terbarukan,” tambah Bintang.

Dalam visi dan misinya, Prabowo dan Gibran telah menggagas wacana untuk mendorong Indonesia menuju swasembada energi. Namun, langkah ini harus disertai transparansi yang tinggi, khususnya dalam pengelolaan program biodiesel untuk mengatasi emisi. Berdasarkan studi IESR dalam laporan “Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024,” Indonesia adalah produsen bahan bakar nabati terbesar ketiga di dunia, dengan produksi mencapai 174.000 BOE/hari pada 2022. Bintang menyatakan, meski penggunaan biodiesel, bioetanol, dan bioavtur telah dikembangkan, transparansi emisi masih menjadi pertanyaan, sehingga efektivitas program biodiesel dalam mitigasi iklim perlu dievaluasi.

Analisis IESR menemukan bahwa penempatan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif juga harus mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi dari perkebunan dan rantai suplai industri kelapa sawit. Selain itu, proses produksi dan pemurnian biodiesel yang mahal menjadi kendala jika disediakan tanpa subsidi, ditambah dengan keterbatasan teknis dalam pemanfaatannya sebagai bahan bakar alternatif.

Acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024 yang akan berlangsung pada 4-6 November 2024 dapat menjadi momen penting untuk mendiskusikan arah kebijakan transisi energi Indonesia. Tema IETD 2024 adalah “Merealisasikan Transisi Energi yang Adil dan Terarah”. Masyarakat Indonesia dapat terlibat dalam acara IETD 2024 dengan mendaftar di ietd.info.

Artikel ini merupakan hasil kolaborasi media partner tanahair.net dan Institute for Essential Services Reform (IESR)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles