Jakarta – Aset mangkrak (stranded asset) adalah salah satu risiko terbesar dari penurunan nilai aset yang sedang dihadapi dalam sistem energi berbasis bahan bakar fosil, terutama di tengah krisis iklim yang semakin mendesak. Aset mangkrak terjadi ketika suatu aset dinilai sudah usang, tidak ekonomis, tidak kompetitif maupun tidak produktif sebelum mencapai usia produktif atau waktu manfaatnya habis. Hal ini menjadi semakin relevan dengan adanya dorongan global untuk menghentikan pembangunan dan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara.
Farid Wijaya, Analis Senior Institute for Essential Services Reform (IESR) memaparkan, PLTU batubara merupakan salah satu sumber emisi karbon dioksida terbesar, yang berkontribusi pada lebih dari sepertiga emisi sektor energi. Kebijakan negara untuk memenuhi komitmen global dalam upaya penurunan emisi GRK dan mitigasi pemanasan global ini tentu akan berdampak pada operasional PLTU di negara ini. Persetujuan Paris sendiri mendesak dunia untuk menahan kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius, bahkan mempertahankan kenaikannya di angka 1,5 derajat celcius atau lebih rendah.
“Aset mangkrak bisa berupa bangunan, peralatan, logistik dan transportasi, atau nilai proyek dari aktivitas industri yang tergantung pada bahan bakar fosil. Di Indonesia, berdasarkan studi IRENA tahun 2022, terdapat 85 persen aset mangkrak yang diperkirakan berasal dari industri eksplorasi bahan bakar fosil. Beberapa faktor yang memicu aset mangkrak antara lain kebijakan pemerintah yang membatasi penggunaan bahan bakar fosil, implementasi pajak dan perdagangan karbon, fluktuasi harga energi, pencabutan subsidi bahan bakar fosil, dan peralihan ke energi terbarukan sebagai bagian upaya dari realisasi target Indonesia emas 2045 dan komitmen NZE 2060,” tegas Farid.
Untuk meminimalisir risiko aset mangkrak, Farid menyarankan setidaknya terdapat pembuatan peta jalan transisi energi dari energi fosil ke energi terbarukan, peta jalan penurunan emisi dan peta jalan pengembangan energi terbarukan yang terperinci. Peta jalan ini akan menjadi acuan pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan dan langkah yang perlu dilakukan, dalam menghadapi transisi energi. Untuk mengurangi risiko secara efektif, perlu juga dilakukan pemetaan kebijakan dan strategi nasional, analisis dampak dan risiko aset, Penentuan variabel kunci yang mempengaruhi aset mangkrak serta perencanaan potensi kemungkinan pemanfaatan aset yang berpotensi atau dinilai sebagai aset mangkrak.
Satu langkah yang mudah dan murah adalah dengan melakukan konservasi energi. Konservasi energi bisa dilakukan di semua sektor, baik di industri, transportasi, maupun bangunan, sesuai dengan target pemerintah untuk menurunkan intensitas energi final dan konsumsi energi final nasional. Selain itu, dengan konservasi energi maka kebutuhan aset energi terbarukan pengganti energi fosil tidak akan sebanyak jika konservasi energi tidak dilakukan.
“Seiring komitmen untuk melakukan pensiun dini PLTU di tengah krisis iklim, pemerintah perlu berhati-hati dalam membangun infrastruktur baru untuk bahan bakar fosil karena hal ini dapat membuat biaya transisi energi menjadi lebih mahal dan memperbesar risiko aset mangkrak. Sebaliknya, transisi ke energi terbarukan lebih cepat dan lebih murah,” imbuh Farid.
Acara Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024 yang akan berlangsung pada 4-6 November 2024 dapat menjadi momen penting untuk mendiskusikan arah kebijakan transisi energi Indonesia sehingga mampu menyediakan energi terbarukan untuk sektor industri. Tema IETD 2024 adalah “Merealisasikan Transisi Energi yang Adil dan Terarah”. Masyarakat Indonesia dapat terlibat dalam acara IETD 2024 dengan mendaftar di ietd.info.
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi media partner tanahair.net dan Institute for Essential Services Reform (IESR)
Sumber: https://iesr.or.id/mengantisipasi-aset-mangkrak-energi-fosil/