Jakarta – Koalisi organisasi lingkungan dari Indonesia dan Korea pertengahan Maret memprotes kerja sama antara Hyundai Motor Company dan PT Adaro Minerals Indonesia Tbk. Dalam nota kesepahaman (MoU) tersebut, Hyundai akan membeli maksimum 100.000 ton aluminium per tahun dari Adaro. Adapun Adaro berencana membangun PLTU batubara baru sebesar 1,1 GW sebagai sumber energi untuk memproduksi aluminium tersebut.
Campaigner dari Market Forces, Nabilla Gunawan mengungkapkan, sebanyak 10 organisasi lingkungan dari Indonesia dan Korea telah merespon masalah tersebut. Mereka melayangkan surat keberatan ke Hyundai pada 24 Januari 2023 lalu. “Mereka telah menyampaikan kekhawatiran atas rencana kerja sama antara Hyundai dan Adaro. Tapi sampai kini Hyundai belum membalasnya,” ujar Nabilla dalam keterangan tertulis.
Lebih lanjut, menurutnya, kerja sama Hyundai dengan Adaro sangat bertentangan dengan komitmen iklim Hyundai. Sebab Hyundai gagal memperhitungkan konsekuensi pembangunan PLTU batu bara baru terhadap iklim dan lingkungan.
“Hyundai telah mengingkari komitmen kendaraan ramah lingkungan dengan menggunakan aluminium yang diproduksi menggunakan PLTU batu bara baru,” imbuhnya.
Meski Adaro melabelkan proyek smelter aluminium ini sebagai proyek ‘ramah lingkungan’, namun fase awal smelter akan menggunakan tenaga listrik dari PLTU batubara baru. Sementara rata-rata PLTU di dunia beroperasi sepanjang 46 tahun. Itu artinya akan sulit bagi Hyundai untuk mencapai target karbon netral pada 2045, jika masih mengandalkan aluminium yang dihasilkan dari energi batu bara milik Adaro.
Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menambahkan, konsumen kendaraan listrik semakin skeptic, sebab tujuan transisi energi masih dikotori oleh pemanfaatan batubara secara massif.
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar menyampaikan, Indonesia tidak membutuhkan PLTU batu bara baru yang jelas-jelas mengotori dan merusak lingkungan. Perusahaan seperti Adaro memiliki sejarah menghancurkan kehidupan masyarakat dan telah berkontribusi ke bencana lingkungan seperti banjir dan longsor di Kalimantan.
“Kami sangat khawatir Hyundai menandatangani nota kesepahaman untuk pembelian aluminium yang diproduksi oleh Adaro, ketika sudah jelas bahwa produksi tersebut akan disokong PLTU batubara baru,” kata Melky.
Hyundai, lanjutnya, semestinya tidak mendukung aluminium kotor produksi Adaro, dan mendorong investasi yang rendah karbon di Indonesia. Seperti diketahui, smelter aluminium milik Adaro memiliki rencana kapasitas 1,5 juta ton per tahun pada 2029. Adaro berencana mengandalkan PLTU batubara pada tahap awal, lalu menambahkan kapasitasnya dari tenaga air pada tahap terakhir. (Hartatik)
Foto banner: Aksi damai para pemuda mengecam BNI sebagai bank nasional yang masih mendanai perusahaan batu bara. (Foto: Indonesia Digital Campaigner 350.org)