Jakarta – Koalisi masyarakat sipil berharap pemerintah segera menaikkan pungutan terhadap sektor mineral dan batu bara (minerba) guna meningkatkan pendapatan negara. Dalam keterangan pers, Kamis, 2 Januari, mereka menilai kebijakan ini lebih efektif dan adil dibandingkan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, yang dikhawatirkan membebani masyarakat.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), Tata Mustasya, menjelaskan bahwa sektor minerba memiliki potensi penerimaan jauh lebih besar untuk membiayai berbagai program prioritas nasional.
“Dengan menaikkan pungutan produksi batu bara, negara bisa mendapatkan tambahan pendapatan hingga Rp 353,7 triliun per tahun. Bandingkan dengan target kenaikan PPN menjadi 12%, yang hanya menghasilkan Rp 75,29 triliun. Kebijakan ini lebih strategis dan tidak membebani masyarakat langsung,” ujar Tata. Menurutnya, pungutan ini bisa dialokasikan untuk berbagai proyek strategis, termasuk transisi energi dan pembangunan infrastruktur energi bersih seperti jaringan listrik pintar (smart grid).
Peningkatan pungutan terhadap sektor minerba juga dinilai dapat mendorong transisi energi bersih di Indonesia, kata Tata. Saat ini, bauran energi terbarukan hanya mencapai 13,93% dari target 19% pada 2025. Untuk mencapai target tersebut, diperlukan investasi besar dalam waktu singkat.
Abdurrahman Arum, Direktur Eksekutif Transisi Bersih, mengusulkan penerapan tarif ekspor sebesar 10-20% pada produk nikel. “Dengan tarif ekspor ini, negara bisa meraih pendapatan tambahan Rp 50-100 triliun per tahun. Selain itu, kebijakan ini juga dapat menjaga stabilitas harga nikel dunia yang saat ini tertekan akibat suplai besar dari Indonesia,” ungkapnya.
Namun, untuk memaksimalkan penerimaan, pemerintah juga perlu meninjau ulang kebijakan hilirisasi yang selama ini dinilai belum optimal. Harryadin Mahardika, Direktur Program Financial Research Center for Clean Energy (FRCCE), menyoroti bahwa insentif fiskal yang terlalu besar justru mengurangi kontribusi hilirisasi terhadap pendapatan negara.
“Pemerintah harus lebih bijak dalam memberikan insentif kepada pelaku industri hilirisasi. Ada potensi besar yang belum tergarap maksimal, dan ini harus diperbaiki,” ujar Harryadin.
Koalisi mendorong pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto didorong untuk mengambil langkah ini sebagai bagian dari komitmen terhadap keberlanjutan ekonomi dan lingkungan. Langkah strategis seperti ini tidak hanya memperkuat pendapatan negara tetapi juga mendukung agenda pembangunan yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.
“Keberanian untuk mengambil kebijakan yang rasional dan adil adalah kunci. Pemerintah memiliki peluang besar untuk membuat perubahan yang signifikan bagi masa depan ekonomi dan lingkungan Indonesia,” tutup Tata. (Hartatik)