Masyarakat Adat Kalimantan berbagi pengalaman konservasi keanekaragaman hayati secara turun-temurun di COP16 CBD

Jakarta – Pada COP16 Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) di Cali, Masyarakat Adat dari Kalimantan, Indonesia, menyoroti peran mereka yang telah berlangsung selama bertahun-tahun dalam pemantauan keanekaragaman hayati dan konservasi di wilayah adat mereka, demikian disampaikan Yayasan Madani dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu, 30 Oktober. Dalam konferensi tersebut, para pemimpin masyarakat adat berbagi pengetahuan leluhur dan strategi konservasi mereka, menggarisbawahi hubungan yang tak terpisahkan antara perlindungan keanekaragaman hayati dan masyarakat adat dan lokal.

Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia, memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa dengan lebih dari 15.000 spesies tanaman, 288 spesies mamalia, 350 spesies burung, serta 150 spesies reptil dan amfibi. Pusat keanekaragaman hayati ini juga merupakan rumah bagi beragam masyarakat adat yang telah lama menjunjung tinggi praktik-praktik berkelanjutan untuk melindungi alam. Dalam sebuah acara sampingan di COP16, perwakilan dari komunitas Ketemenggungan Iban Jalai Lintang di Kalimantan Barat berbagi cerita tentang tradisi pengelolaan keanekaragaman hayati yang telah berlangsung selama berabad-abad.

Raymundus Remang, Kepala Desa Batu Lintang dan Ketua Gerempong Menuajudan – Sungai Utik, menekankan pentingnya perwalian adat, dengan menyatakan, “Semua komunitas Masyarakat Adat di Indonesia harus terus melindungi dan mengelola hutan dan sumber dayanya. Lebih baik melindungi sumber mata air kita daripada meneteskan air mata karena kehilangannya.”

Darius Doni, seorang tokoh pemuda dari komunitas yang sama dan anggota dewan pengurus daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Kapuas Hulu, menyoroti peran penting pemuda adat dalam upaya konservasi. “Ini adalah warisan leluhur kami, dan sangat penting untuk membangun masa depan yang lebih baik,” ujarnya, seraya menyerukan peran yang lebih aktif di antara kaum muda dalam melestarikan tanah adat.

Kapuas Hulu, salah satu bentang alam terkaya di Kalimantan, merupakan tempat perlindungan bagi berbagai spesies, termasuk rangkong gading yang terancam punah, orangutan, dan beragam satwa liar lainnya. Upaya konservasi Masyarakat Adat di wilayah ini berakar kuat pada hubungan kosmik dengan alam, yang didorong oleh pemahaman bahwa hutan menopang kehidupan dan mata pencaharian mereka.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, masyarakat Dayak Punan Tugung di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, menjadi contoh dedikasi terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Wilayah adat Dayak Punan Tugung, yang berada di dalam wilayah konsesi perusahaan, menghadapi praktik-praktik pengelolaan yang saling bertentangan dan mengancam kesehatan ekosistem. Rahmat Sulaiman dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mengatakan, “Terdapat perbedaan yang mencolok dalam pengelolaan hutan antara perusahaan dan Masyarakat Adat, yang menunjukkan bagaimana Masyarakat Adat Dayak Punan Tugung mampu menjaga keutuhan hutan adat mereka.”

Komitmen Masyarakat Adat terhadap konservasi lebih dari sekadar kesehatan ekosistem, dengan kontribusi yang berharga bagi etnobotani dan pengobatan alami. Nurhayati, perwakilan masyarakat Dayak Punan Tugung, berbagi pengetahuan tentang obat-obatan tradisional yang berasal dari hutan, termasuk tanaman yang digunakan untuk mengobati demam dan penawar racun. “Hutan bagaikan supermarket dan apotek gratis bagi kami,” jelasnya, menggarisbawahi ikatan yang tak tergantikan antara masyarakat adat dan hutan adat mereka.

Terlepas dari peran penting mereka dalam melestarikan keanekaragaman hayati, Masyarakat Adat hanya mendapat sedikit pengakuan formal. Data PADI Indonesia dan JKPP menunjukkan bahwa di Kalimantan Utara, hanya 19 komunitas Masyarakat Adat yang telah diakui secara resmi, terbatas pada Kabupaten Malinau, Nunukan, dan Bulungan, meskipun sebenarnya ada lebih banyak lagi.

Direktur Eksekutif PADI Indonesia menyoroti perlunya pengakuan dan dukungan global: “Komunitas Masyarakat Adat bukanlah penyebab hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklim, namun justru mereka adalah garda terdepan.” Ia menekankan bahwa pengakuan formal atas hak-hak dan wilayah adat sangat penting untuk mempertahankan upaya konservasi keanekaragaman hayati.

Di tingkat internasional, masyarakat adat terus mendorong penghormatan terhadap hak-hak mereka di forum-forum seperti COP16 CBD, di mana kebutuhan akan pengakuan inklusif dalam tata kelola lingkungan global ditegaskan kembali. Yoki Hadiprakarsa dari Yayasan Rekam Nusantara menambahkan, “Dukungan teknis dan finansial yang berkesinambungan dari berbagai pemangku kepentingan sangat penting untuk memastikan kelestarian keanekaragaman hayati yang berkelanjutan. Hal ini akan memajukan implementasi KM-GBF di Indonesia dan memberi manfaat bagi komunitas global.”

Seiring dengan berlanjutnya diskusi di COP16 CBD, perwakilan masyarakat adat Kalimantan mengingatkan dunia bahwa pengetahuan tradisional dan dedikasi mereka merupakan aset yang tak ternilai dalam upaya global untuk melindungi keanekaragaman hayati. Suara mereka menggemakan pesan penghormatan, ketahanan, dan kebutuhan mendesak untuk kolaborasi dalam menjaga ekosistem planet kita. (nsh)

Foto banner: Warga Sungai Utik, Kalimantan Barat, sedang melakuan pemantauan populasi rangkong di hutan adatnya. © Rekam Nusantara Foundation/Iban Manua Sungai Utik.

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles