
Jakarta – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menyampaikan urgensi dan perkembangan uji formil terhadap undang-undang konservasi yang baru saja disahkan tahun 2024, di Mahkamah Konstitusi (MK), dengan alasan bahwa proses legislasi tersebut melanggar prinsip-prinsip konstitusional dan tidak mengikutsertakan masyarakat adat untuk berpartisipasi.
Dalam media briefing yang diadakan di Jakarta pada hari Rabu, 7 Mei, koalisi tersebut mengkritik UU No. 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (atau UU KSDAHE), dengan mengatakan bahwa undang-undang tersebut disusun dalam proses tertutup yang mengabaikan hak-hak dan suara masyarakat adat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi.
Muhammad Arman, perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyatakan bahwa UU KSDAHE tidak memenuhi prinsip-prinsip utama legislasi seperti kejelasan tujuan, manfaat, dan transparansi. “Dalam proses pembentukan UU KSDAHE sama sekali tidak mencerminkan adanya unsur partisipasi yang bermakna (meaningful participation), kedayagunaan dan kehasilgunaan serta kejelasan pembentukan UU KSDAHE. Dari sekitar 20 kali pembahasan hanya dua kali yang terbuka untuk publik, sisanya dilakukan secara tertutup”, katanya.
Uji materi ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi oleh AMAN, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan seorang petani bernama Mikael Ane. Kasus ini terdaftar dengan Nomor Perkara 132/PUU-XXII/2024.
Menurut penasihat hukum koalisi, Gregorius Bruno Djako, undang-undang tersebut dibuat tanpa masukan dari pihak-pihak yang paling terdampak, yaitu masyarakat adat dan masyarakat setempat yang merupakan subjek hukum dalam undang-undang tersebut. “Undang-undang ini tidak bermanfaat dan tidak efektif. Undang-undang ini tidak memberikan manfaat atau hasil yang nyata bagi masyarakat adat,” kata Djako dalam sidang pertama pada tanggal 7 Oktober 2024.
Ia menekankan kurangnya tujuan legislatif yang jelas, dan mencatat bahwa undang-undang tersebut gagal memperhitungkan realitas kehidupan dan hak-hak hukum masyarakat yang telah lama mengelola dan bergantung pada ekosistem hutan.
Koalisi juga mengkritik kekurangan prosedural dalam proses legislasi. Tim kuasa hukum menunjuk pada tidak adanya catatan kehadiran dan naskah akademis untuk rapat dengar pendapat umum (RDPU), dan menyebut proses tersebut sebagai formalitas belaka tanpa makna partisipatif. Mereka menggarisbawahi bahwa proses peninjauan yudisial formal dibatasi hingga 60 hari di bawah mekanisme “peradilan cepat”.
Victor Santoso Tandiasa, anggota Tim Hukum Pengujian Formil Undang-Undang KSDAHE menyatakan bahwa “Proses uji formil JR termasuk ‘speedy trial’ yang dilakukan selama 60 hari sejak keterangan Presiden diterima sampai batas maksimal adalah pada tanggal 28 Juni 2025. Mahkamah Konstitusi seharusnya memaksimalkan jangka waktu ini dengan menyediakan kesempatan penuh bagi pemohon untuk menghadirkan saksi dan ahli. Namun hingga kini Pemerintah belum dapat menunjukkan daftar hadir siapa saja yang mengikuti pembahasan RUU KSDAHE.”
Pasal 8 dan 9 dari undang-undang baru ini sangat kontroversial, yang dikhawatirkan oleh koalisi akan melegitimasi pengucilan masyarakat adat dari wilayah leluhur mereka. Undang-undang tersebut tidak mewajibkan Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) dalam perencanaan konservasi, sehingga berpotensi membuka jalan bagi perampasan lahan dengan kedok perlindungan lingkungan.
“UU KSDAHE, dalam bentuknya yang sekarang, berisiko melanggengkan perampasan tanah-tanah adat dan merusak sistem pengelolaan ekologi yang telah berusia berabad-abad,” Arman memperingatkan.
Kelompok-kelompok hak-hak masyarakat adat mendesak adanya pengawasan publik yang lebih luas terhadap implikasi undang-undang tersebut terhadap keadilan lingkungan dan kedaulatan masyarakat adat. (nsh)
Foto banner: Masyarakat adat di Pulau Aru (Sumber: Forest Watch Indonesia)