Jakarta – Ketergantungan Indonesia pada energi berbasis karbon tinggi (heavy carbon) masih menjadi tantangan utama dalam upaya transisi ke energi bersih, menurut pejabat Kementerian Keuangan. Meski memiliki komitmen untuk mencapai net-zero emissions (NZE) pada 2060, Indonesia perlu menemukan solusi energi ramah lingkungan yang tetap terjangkau bagi masyarakat dan industri.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, dalam kuliah umum bertajuk Energy Transition Towards a Low Carbon Economy di Jakarta, Rabu, 19 Februari, mengatakan bahwa transisi energi tidak hanya sebuah keharusan, tetapi juga peluang bagi pembangunan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
“Kita tidak bisa hanya berpikir soal mengurangi emisi, tetapi juga bagaimana memastikan masyarakat tetap mendapatkan akses energi yang cukup, berkualitas, dan terjangkau,” ujar Suahasil.
Ia menjelaskan bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya energi berbasis karbon seperti batu bara dan gas alam. Dengan posisi ini, upaya beralih ke energi terbarukan menjadi tantangan besar, terutama terkait dengan biaya investasi yang tinggi. “Transisi ini harus dirancang dengan matang. Kita ingin energi yang lebih bersih, tetapi tidak boleh mengorbankan kesejahteraan masyarakat dan daya saing industri,” tambahnya.
Sebagai bagian dari strategi transisi, pemerintah telah membentuk Energy Transition Mechanism (ETM) yang bertujuan untuk mempercepat peralihan ke energi bersih dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi. Selain itu, pemerintah juga menerapkan climate budget tagging untuk memastikan bahwa alokasi anggaran negara digunakan secara efektif dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Salah satu inisiatif yang tengah dikembangkan adalah pasar karbon. Menurut Suahasil, perdagangan karbon dapat menjadi instrumen penting dalam pendanaan iklim Indonesia.
“Sejak diluncurkan pada September 2023, bursa karbon Indonesia telah memperdagangkan 1,5 juta ton karbon. Ini menunjukkan bahwa ada potensi besar yang bisa kita manfaatkan untuk mendukung transisi energi,” ungkapnya.
Selain itu, pemerintah juga melihat peluang dalam pemanfaatan hutan sebagai sumber kredit karbon. Banyak pihak kini mengajukan konsesi hutan untuk dijaga kelestariannya dan memperoleh manfaat ekonomi dari perdagangan karbon.
“Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara yang masih memiliki hutan luas. Ini adalah aset berharga yang bisa menjadi jalan bagi kita dalam mencapai target iklim,” jelas Suahasil.
Meskipun berbagai inisiatif telah digulirkan, tantangan utama tetap pada bagaimana memastikan ketersediaan energi bersih dengan harga yang kompetitif. Pemerintah menekankan perlunya strategi transisi yang realistis, termasuk pemanfaatan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage), optimalisasi pembangkit berbasis energi terbarukan, serta reformasi kebijakan subsidi energi.
“Transisi ini bukan hal yang mudah, tetapi kita harus tetap bergerak maju. Kuncinya adalah keseimbangan antara keberlanjutan lingkungan, ketahanan energi, dan pertumbuhan ekonomi,” pungkas Suahasil. (Hartatik)