oleh: Hartatik
Semarang — Komitmen pemerintah mempensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) masih setengah hati. Pasalnya, kelonggaran pembangunan PLTU baru, masih diakomodasi oleh Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang ditandatangani Presiden Joko Widodo, Rabu (13/9) lalu.
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Raynaldo G Sembiring menilai komitmen memensiunkan PLTU Batubara dalam perpres tersebut masih belum ambisius, mengingat kondisi ketenagalistrikan beberapa waktu belakangan, apalagi beberapa grid, utamanya Pulau Jawa sudah over supply.
“Dengan demikian tanpa ada pemensiunan pembangkit-pembangkit fosil, pengembangan energi terbarukan berpotensi terhambat,” ujarnya.
ICEL mencatat beberapa hal dari perpres tersebut yang perlu dikritisi lebih lanjut. Pada Pasal 3 Ayat 4, pengembangan PLTU baru masih diizinkan asalkan telah ditetapkan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL 2021-2030) sebelum berlakunya beleid ini. Begitu pun perpres ini tetap mengizinkan pembangunan PLTU baru, tapi terintegrasi dengan industri yang dibangun berorientasi untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional, dengan syarat berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca, dan beroperasi maksimal sampai 2050. Padahal berdasarkan RUPTL PLN 2021-2030 saja masih terdapat 37 PLTU baru.
“Itu baru dari RUPTL PLN, belum menghitung PLTU-PLTU di wilayah usaha lain yang datanya sulit untuk dapat diakses publik,” imbuhnya.
Selain itu, menurut Raynaldo, beberapa dari PLTU ini juga terbukti gagal mendapatkan pendanaan, dan tidak kunjung dibangun.
“Kami menilai Perpres No 112 Tahun 2022 sepatutnya menjadi momentum juga untuk meninjau kembali seluruh RUPTL wilayah usaha selain PLN.”
Selain itu, penggantian pembangkit yang diakhiri operasinya juga tidak tegas, dengan hanya menyebutkan “dapat digantikan dengan pembangkit Energi Terbarukan” (sesuai pasal 3 ayat 6), alih-alih secara tegas mewajibkan penggantian dengan energi terbarukan.

(Infografis: Hartatik)
Deputi Direktur ICEL, Grita Anindarini menambahkan, pertanggungjawaban lingkungan hidup juga tetap perlu dimintakan. Hingga saat ini, cukup banyak PLTU yang menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang tidak hanya berdampak besar bagi lingkungan, namun juga merugikan masyarakat
“Jangan sampai penutupan PLTU ini menghilangkan pertanggungjawaban pemilik pembangkit. Tanggung jawab untuk memulihkan maupun penyelesaian konflik tentu perlu diselesaikan dan dipertanggungjawabkan sebelum PLTU dipensiunkan,” tegas Grita.
Ia berharap percepatan pembangunan Energi Terbarukan tidak membuat jaring pengaman lingkungan dan HAM dikesampingkan. Praktik pembangunan pembangkit listrik yang menjadi proyek strategis nasional yang banyak menimbulkan konflik perlu dijadikan evaluasi untuk pembangunan energi bersih ke depannya.
Sementara itu, Ketua I Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Bobby Gafur Umar berharap, terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) EBT ini bisa diikuti dengan kebijakan insentif fiskal dan pendanaan khusus untuk proyek energi terbarukan. Perpres ini diharapkan bisa memberikan acuan payung hukum dalam transaksi jual beli tenaga listrik energi terbarukan.
“Angka jual listrik yang tertera dalam Perpres belum sepenuhnya bisa memenuhi ekspektasi investor. Namun, keberadaan insentif dan dukungan berupa pendanaan khusus, bisa membuat investasi energi terbarukan menjadi lebih menarik,” ungkap Bobby.
Investasi fiskal yang diharapkan, menurut Bobby, bisa berupa macam-macam, mulai dari insentif pajak impor untuk mesin-mesin dan peralatan pembangkit energi terbarukan, hingga tax holiday untuk misalnya selama 5 tahun pertama.