Koalisi masyarakat sipil: Program Food Estate mengancam ekosistem hutan dan komitmen iklim Indonesia

Jakarta – Program Food Estate di Indonesia, yang disebut-sebut sebagai solusi ketahanan pangan nasional, dikecam karena potensinya untuk merusak ekosistem hutan alam dan mengancam komitmen iklim Indonesia, demikian koalisi masyarakat sipil Indonesia mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu, 13 November.

Peringatan ini menyusul pernyataan yang dibuat oleh Hashim Sujono Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden RI untuk Perubahan Iklim, pada sesi pleno COP29 di Baku, Azerbaijan, pada tanggal 12 November. Hashim menegaskan kembali komitmen pemerintah terhadap inisiatif yang kontroversial tersebut.

Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengunjungi lokasi Food Estate di Merauke, Papua Selatan, sebuah proyek yang mencakup lebih dari dua juta hektar. Sementara pemerintah memposisikan program ini sangat penting untuk ketahanan pangan, para pencinta lingkungan dan kelompok-kelompok masyarakat adat menyuarakan keprihatinan mereka.

Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, mengkritik program ini dan menggambarkannya sebagai pintu masuk yang potensial untuk eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali. Menurutnya program Food Estate mengancam target FOLU Net Sink 2030 di Indonesia. Inisiatif FOLU (Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya) bertujuan untuk mencapai penyerap karbon bersih dengan mengurangi deforestasi hingga 4,22 juta hektar pada tahun 2030.

Laju deforestasi di Indonesia telah melampaui target, dengan 4,8 juta hektar telah ditebang hingga tahun 2019 – melebihi batas yang ditetapkan sebesar 577.000 hektar. “Mengandalkan restorasi dan rehabilitasi saja akan mempersulit pencapaian komitmen iklim Indonesia. Cegah dulu, baru restore,” kata Nadia, seraya menekankan bahwa restorasi ekosistem merupakan proses yang panjang dan sering kali gagal untuk memulihkan kondisi semula, terutama di ekosistem gambut dan bakau yang rentan.

Cindy Julianty dari Kelompok Kerja ICCAs Indonesia (WGII) menyoroti konflik antara proyek lumbung pangan dan hak-hak masyarakat adat. Di Merauke, lebih dari dua juta hektar hutan di dalam wilayah adat masyarakat adat Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei telah dibuka. Hutan-hutan ini, yang sangat penting bagi keanekaragaman hayati dan sumber makanan tradisional, dikorbankan untuk program ini.

Cindy mendesak pengawasan terhadap target restorasi ambisius pemerintah seluas 12,7 juta hektar di bawah pemerintahan Presiden Prabowo.“Apakah angka ini tumpang tindih dengan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat atau tidak? apakah akan dilakukan melalui proses konsultasi dan FPIC (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan atau padiatapa), dan apakah masyarakat adat atau lokal menjadi penerima manfaat dari agenda restorasi ini?” katanya.

Nadia juga mengkritik absennya Indonesia dalam Forest and Climate Leaders’ Partnership (FCLP), sebuah inisiatif global untuk menghentikan deforestasi pada tahun 2030. Menurutnya, bergabung dengan FCLP dapat membantu Indonesia mendapatkan pendanaan iklim yang sangat penting dari negara-negara maju untuk melindungi hutan.

Para pegiat lingkungan seperti Eka Melisa dari Kemitraan dan Iqbal Damanik dari Greenpeace menyayangkan kurangnya kepemimpinan Indonesia di COP29. “Sangat disayangkan pada COP29 Baku yang digadang-gadang sebagai COP yang fokus pada pendanaan ini, Indonesia belum melihat pentingnya memainkan peran signifikan dalam mengarahkan agar pendanaan iklim tepat sasaran,” kata Iqbal. Ia mendesak pemerintah untuk mendorong mekanisme pendanaan yang mendukung upaya-upaya mitigasi, adaptasi, dan pengurangan kerugian dan kerusakan.

Hashim membela program Food Estate dengan menegaskan bahwa masyarakat internasional salah memahami program tersebut. Ia mengklaim bahwa hutan-hutan yang terdegradasi akan direvitalisasi untuk mengurangi dampak lingkungan. Namun, para kritikus tetap tidak yakin, dan memperingatkan bahwa konsekuensi jangka panjang dari program ini bisa lebih besar daripada manfaat jangka pendeknya.

Ketika Indonesia menyeimbangkan antara ketahanan pangan dan pengelolaan lingkungan, para ahli menekankan perlunya kebijakan yang memprioritaskan konservasi hutan sembari menangani ketahanan iklim dan kesejahteraan masyarakat. (nsh)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles