Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transisi Energi Berkeadilan mendesak pemerintah mengevaluasi implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) serta menghentikan pemberian Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) untuk proyek bahan bakar fosil. Langkah ini dianggap mendesak untuk memastikan target net-zero emissions (NZE) pada 2060 tercapai dengan pendekatan yang lebih kredibel dan tidak bertentangan dengan komitmen pengurangan emisi.
“Kebijakan NEK saat ini lebih banyak menjadi alat ekonomi daripada solusi iklim,” ujar Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS dalam keterangan tertulis, Jumat, 24 Januari.
Bhima menyoroti bahwa pemerintah masih mengalokasikan SPE-GRK untuk proyek berbasis bahan bakar fosil, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU), yang secara fundamental bertentangan dengan semangat transisi energi.
Bhima menegaskan, langkah ini bukan hanya tidak selaras dengan upaya penurunan emisi, tetapi juga menjadi sinyal buruk bagi investor energi terbarukan. Ia juga mengingatkan bahwa SPE-GRK seharusnya diberikan untuk proyek yang benar-benar berdampak pada penurunan emisi, bukan sekadar mengakomodasi proyek yang masih bergantung pada energi fosil.
Co-firing biomassa dan biofuel dikritik
Koalisi juga meminta pemerintah mengevaluasi program co-firing biomassa di PLTU batubara. Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), menyebut program ini berisiko besar menjadi solusi palsu yang justru memperpanjang ketergantungan pada batubara.
“Implementasi co-firing penuh dengan kecurangan, seperti pencampuran biomassa dengan air untuk meningkatkan tonase sebelum dibakar. Praktik ini merugikan negara dan membohongi publik,” tegas Anggi.
Selain itu, program biofuel, termasuk biodiesel 50% (B50), dinilai menciptakan dampak lingkungan jangka panjang, terutama terkait pembukaan lahan baru untuk tanaman energi. “Biofuel bertolak belakang dengan komitmen iklim global dan mengancam kelestarian hutan,” tambahnya.
Pemerintah juga mendapat kritik terkait penggabungan energi baru, seperti nuklir dan hilirisasi batu bara, dalam kebijakan transisi energi. “Fokus pada pembangunan PLTN hingga 5 GW pada 2040 adalah keputusan yang berisiko tinggi, mahal, dan kurang relevan dengan kebutuhan energi berkelanjutan,” ujar Bhima.
Koalisi menyoroti bahwa dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil, Presiden Prabowo Subianto telah berkomitmen menghentikan pembangkit fosil dalam 15 tahun ke depan. Namun, realisasi komitmen ini bergeser menjadi pengurangan kapasitas secara bertahap tanpa rencana pensiun dini PLTU yang jelas.
Koalisi juga mendesak pemerintah memperkuat penerapan prinsip environmental, social, and governance (ESG) dalam investasi energi. Indra Sari Wardhani, Plt Direktur Program Koaksi Indonesia, mengatakan, ESG seharusnya menjadi sistem pertahanan negara dari risiko sosial dan lingkungan, bukan sekadar syarat administratif.
Selain itu, insentif pembiayaan energi terbarukan untuk UMKM dan koperasi dinilai belum memadai meski Kamar Dagang dan Industri (Kadin) telah berkomitmen mendukung pelaksanaannya.
Koalisi mengingatkan pemerintah bahwa tanpa evaluasi menyeluruh terhadap NEK, SPE-GRK, dan kebijakan energi lainnya, target NZE akan sulit tercapai. “Kebijakan yang tidak konsisten hanya akan memperlambat transisi energi dan melemahkan posisi Indonesia dalam peta global perubahan iklim,” tegas Bhima.
Koalisi menyerukan agar kebijakan NEK benar-benar difokuskan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan yang kredibel, transparan, dan akuntabel, guna mencapai target emisi yang lebih ambisius dan berkelanjutan. (Hartatik)