Jakarta – Sebagai produsen gas bumi terbesar kedua di dunia, pemerintah tengah gencar memperluas investasi proyek gas dengan mengintegrasikan pasar di wilayah Asia, Amerika hingga Eropa. Langkah ini dilakukan demi mendorong pemanfaatan gas bumi sebagai sumber energi transisi di tengah meningkatnya permintaan energi primer global serta target pencapaian Net Zero Emission (NZE).
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan, pihaknya siap mendorong integrasi pasar gas bumi ke sejumlah regional. Apalagi gas bumi berperan pentinng sebagai sumber energi keseimbangan pada masa transisi energy.
“Transisi energi bersih harus dilakukan secara komprehensif dalam berbagai tahapan dengan mempertimbangkan daya saing, biaya, ketersediaan dan keberlanjutan untuk memastikan transisi berjalan lancar dan ketahanan energi tidak terganggu,” ujar Tutuka dalam rilis tertulis, Jumat (13/5).
Lebih lanjut, menurutnya, meningkatkan peranan gas bumi melalui kerja sama internasional pada negara G20 diharapkan bisa mewujudkan netralitas karbon sesuai tuntutan global.
Tutuka menambahkan, investasi dalam proyek gas alam perlu ditingkatkan secara global untuk mendorong penggunaan gas alam yang lebih besar. Selain itu, integrasi pasar gas di antara tiga wilayah terbesar gas alam yaitu Asia, Amerika Utara dan Eropa dinilai perlu terus didorong.
Senada, Chair Energy Transitions Working Group (ETWG) Yudo Dwinanda Priadi mengungkapkan, kelebihan gas bumi dapat menjadi sumber energi yang mudah disimpan, pilihan rendah karbon, dan mampu menyediakan pasokan energi yang fleksibel dan tidak terputus.
“Tidak dapat disangkal bahwa semua negara menghadapi kebutuhan mendesak untuk pemulihan berkelanjutan pascapandemi sambil mengurangi dampak buruk perubahan iklim, seperti bencana cuaca ekstrem,” kata Yudo.
Selain mendorong inovasi, Yudo menilai, energi gas dapat menjadi elemen penghubung dalam pengembangan sumber energi terbarukan, termasuk pengembangan hidrogen. Ia menjelaskan, khusus di Uni Eropa, gas alam merupakan elemen penting untuk mendorong dan meningkatkan transportasi dan produksi hidrogen sebagai energi bersih terdepan, dalam mencapai netralitas karbon. Hidrogen yang dihasilkan dari energi gas dapat menjadi komplementer dengan hidrogen yang dihasilkan oleh energi terbarukan yakni untuk mengantisipasi efektivitas biaya.
“Ini bahkan dipertimbangkan dalam Strategi Uni Eropa untuk mencapai Emisi Nol Bersih,” imbuh Yudo.
Bahkan Yudo menyoroti peranan gas bumi di Global South dalam pengembangan industri bersih serta menekan kemiskinan energi.
“Ada sekitar 760 juta populasi global tanpa akses listrik yang memadai. Lalu ada 2,5 miliar orang tanpa akses memasak yang bersih sehingga gas dapat menawarkan solusi yang menguntungkan untuk memerangi kemiskinan ini,” tuturnya.
Tak hanya itu, pengembangan gas alam baru diperlukan dan dapat melengkapi dekarbonisasi sektor energi, tentunya dengan bantuan Carbon, Capture Utilization Storage (CCUS).
“Laporan PBB menunjukkan bahwa CCUS dapat membawa prospek yang menjanjikan bagi gas alam, untuk berkolaborasi dengan energi terbarukan dalam mempercepat dekarbonisasi. Selain itu, gas dengan CCUS berpotensi mengatasi pengurangan emisi di sektor industri berat yang hard-to-abate (pemakaian energi fosil),” kata Yudo.
Melalui pendekatan yang berbeda di masing-masing negara, kebutuhan gas bumi di Indonesia juga semakin meningkat sejak pertama kali diproduksi tahun 1965. Saat ini, lebih dari 60% produksi gas Indonesia digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), porsi gas bumi ditargetkan mencapai 24% dalam bauran energi nasional 2050. (Hartatik)