Jakarta – Lonjakan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara secara global pada 2024 memunculkan kekhawatiran baru atas keseriusan negara-negara dalam menjalankan komitmen transisi energi. Data terbaru dari lembaga pelacak Coal Plant Tracker, Global Energy Monitor (GEM), menunjukkan peningkatan signifikan kapasitas PLTU sebesar 18,8 gigawatt (GW) sepanjang tahun ini, yang berbanding terbalik dengan janji pengurangan emisi dalam Perjanjian Paris.
“Cina menjadi penyumbang terbesar dengan tambahan kapasitas PLTU baru sebesar 30,5 GW hanya dalam satu tahun. Ini mencerminkan lemahnya penegakan kebijakan dan janji pemerintah untuk menahan laju ekspansi batu bara,” ungkap Christine Shearer, peneliti dari GEM, awal April.
Kapasitas baru itu berasal dari 44 GW PLTU yang mulai beroperasi di 12 negara pada 2024, mengungguli rencana penghentian operasi sebesar 25,2 GW. Akibatnya, total kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara global kini mencapai 2.143 GW—sekitar 13 persen lebih tinggi dibanding saat kesepakatan Paris Climate Agreement ditandatangani hampir satu dekade lalu.
GEM juga mencatat, beberapa negara seperti Amerika Serikat menunda penghentian PLTU lama karena keterbatasan pasokan energi bersih. “Penundaan ini terjadi terutama di negara-negara yang belum membangun cukup kapasitas energi terbarukan untuk menggantikan batu bara,” tambah Shearer.
Ironisnya, lonjakan PLTU terjadi bersamaan dengan pertumbuhan pesat energi terbarukan. Tahun ini, pembangkit energi terbarukan mencatat peningkatan sebesar 585 GW—naik 15 persen dari tahun sebelumnya dan menyumbang 92,5 persen dari total penambahan kapasitas pembangkit listrik global.
Namun, pertumbuhan tersebut masih dianggap belum cukup. Agar target global pada 2030 dapat tercapai, kapasitas energi terbarukan harus meningkat sebesar 16,6 persen setiap tahunnya selama sisa dekade ini.
Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Rencana pengembangan PLTU captive yang tersebar di Sulawesi dan Maluku Utara dinilai kontraproduktif terhadap agenda transisi energi nasional. Dody Setiawan, Analis Senior Iklim dan Energi untuk Indonesia, memperingatkan bahwa rencana ini justru akan memperbesar jejak karbon sektor industri.
“Memproduksi material untuk teknologi hijau seperti nikel atau aluminium dengan energi kotor justru bertentangan dengan prinsip transisi energi. Smelter kita seharusnya mulai memakai sumber daya terbarukan untuk mengurangi emisi,” tegas Dody.
Menurutnya, berdasarkan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), akan ada tambahan 26,8 GW dari PLTU dalam tujuh tahun ke depan, dan lebih dari 20 GW di antaranya merupakan PLTU captive yang melayani sektor industri.
Padahal Indonesia telah menetapkan target penghentian batu bara pada 2040. Namun, bila rencana RUKN berjalan sesuai jadwal, kapasitas PLTU justru diperkirakan naik hingga 62,7 persen dan baru mencapai puncaknya pada 2037.
“Jika tidak dikoreksi, kebijakan ini bukan hanya melemahkan posisi Indonesia dalam perundingan iklim global, tapi juga meningkatkan risiko stranded assets dan beban biaya energi nasional di masa depan,” tutup Dody.
Tren peningkatan PLTU global dan nasional ini memperlihatkan bahwa meski wacana transisi energi semakin mengemuka, implementasinya masih penuh paradoks. Komitmen iklim, tanpa kebijakan konkret dan disiplin implementasi, akan sulit diwujudkan. (Hartatik)
Foto banner: Cirebon Electric Power