Integrasi Energi Regional Jadi Solusi Bersama Menurunkan Emisi Karbon

Foto: Seminar global bertajuk “Tantangan Energi dan Perubahan Iklim Indonesia” yang diselenggarakan ANU Indonesia Project, menghadirkan narasumber Peneliti Australian National University (ANU) Arndt-Corden Department of Economics, Budy P Resosudarmo dan Kuki Soejachmoen, Direktur Lembaga Penelitian Dekarbonisasi Indonesia (IRID), Selasa (15/2). (Hartatik)

JAKARTA – Integrasi energi regional dapat menjadi solusi cepat dan bijaksana dalam transformasi sektor energi untuk mengelola keamanan energi negara dan mitigasi emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil. Hal tersebut dinyatakan oleh peneliti Australian National University (ANU) Arndt-Corden Department of Economics, Budy P Resosudarmo dalam seminar virtual global bertajuk “Tantangan Energi dan Perubahan Iklim Indonesia” yang diselenggarakan ANU Indonesia Project, Selasa (15/2).

“Integrasi energi regional adalah menghubungkan secara fisik jaringan distribusi energi Indonesia dengan yang ada di negara-negara Asia Tenggara lainnya, atau bahkan lebih luas dengan negara-negara di Asia Timur. Khususnya jaringan kabel listrik, dan mengembangkan sistem kelistrikan satu pasar,” jelasnya.

Menurutnya upaya itu perlu agar masalah ini tidak menghambat perkembangan ekonomi ke depan. Implementasi pengembangan energi terbarukan dan integrasi energi regional kemungkinan besar akan meningkatkan ketahanan energi serta menurunkan pertumbuhan emisi karbon Indonesia.

Energi terbarukan, khususnya listrik terbarukan, telah berkembang pesat dalam dekade terakhir di Asia. China, Vietnam dan India merupakan negara-negara terkemuka dalam mengembangkan sektor listrik terbarukan. Pada 2019, walau hampir 99% penduduk Indonesia telah mengakses listrik, Indonesia masih tertinggal dari beberapa negara di region yang sama seperti China, Thailand dan Vietnam. “Kualitas dan keandalan listrik masih menjadi masalah utama. Isu lainnya ada pada keamanan energi,” ungkap Budy.

Terlepas dari potensi energi terbarukan, Indonesia masih kalah jauh dengan India dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT), terutama dari sisi pemanfaatan energi surya untuk pembangkitan. Budy mencontohkan pada 2018, produksi listrik terbarukan di China sebesar 1.775 GigaWatt per hour (GWh), India 225 GWh, dan Vietnam 85 GWh, sedangkan Indonesia baru 22 GWh.

Lebih lanjut, dikatakannya bahwa meskipun kinerja ekonomi relatif baik, sektor energi Indonesia telah mengalami beban ganda dalam meningkatkan ketahanan energi dan mitigasi emisi karbon. Dengan demikian, kata Budy, integrasi energi secara regional bisa menjadi solusi.

Dialog virtual itu juga menghadirkan narasumber lainnya, Kuki Soejachmoen, Direktur Lembaga Penelitian Dekarbonisasi Indonesia (IRID). Menurutnya, target penurunan emisi gas rumah kaca memang tanggung jawab negara, namun sektor swasta memegang peranan penting dalam mewujudkan percepatan target itu. Pemerintah di tingkat nasional harus mulai berkolaborasi.

Lantas apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan kolaborasi itu? Kuki menjawab, konsistensi dari kebijakan dan regulasi baik intersektor maupun jangka panjang. Lalu mekanisme pembiayaan dari pemerintah, swasta dan asing serta sumber daya yang terkait dengan transisi energi, meliputi pelatihan dan pendidikan di saat mereka berada pada tempat kerja baru.

“Energi terbarukan tidak hanya menyediakan lapangan kerja baru, tetapi menjadi bagian penting bagi industri agar produk mereka diterima di pasar global. Isu ini harus menjadi perhatian pemerintah,” kata Kuki. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles