Jakarta – Seiring dengan berlangsungnya Konferensi Para Pihak ke-29 (COP29) di Baku pada tanggal 11-22 November 2024, Indonesia menyuarakan tuntutan yang kuat untuk sistem pendanaan iklim yang lebih adil. Dengan negara-negara maju yang menyumbang lebih dari 80% emisi global historis, kelompok masyarakat sipil menekankan perlunya negara-negara tersebut memenuhi kewajiban keuangan mereka kepada negara-negara berkembang dan rentan di bawah prinsip pencemar membayar.
“Keterlambatan dalam memobilisasi dana membahayakan kesejahteraan kelompok-kelompok rentan dan menjauhkan kita dari tujuan untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius,” ujar Syaharani, Kepala Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Keadilan Iklim ICEL, dalam konferensi pers, Kamis 14 November.
Di bawah Perjanjian Paris, negara-negara maju harus menyediakan pendanaan iklim yang selaras dengan prinsip Tanggung Jawab Bersama Namun Berbeda (CBDR). Konferensi tahun ini, yang dijuluki ‘COP Finance’, berusaha untuk mengatasi masalah ini melalui Tujuan Kolektif dan Terukur Baru (New Collective and Quantified Goal/NCQG) untuk pendanaan iklim. Namun, diskusi awal mendapat tentangan dari blok G-77, yang menganggap draf awal tidak memadai.
Sejak Kesepakatan Kopenhagen 2009, komitmen sebesar USD 100 miliar per tahun dari negara-negara maju sebagian besar belum terpenuhi. Para ahli berpendapat bahwa jumlah ini masih jauh dari cukup; perkiraan terbaru menunjukkan bahwa kebutuhan pendanaan iklim dapat mencapai USD 8 triliun per tahun pada tahun 2030.
“Pendanaan iklim bukan hanya tentang uang, tetapi juga tentang keadilan,” tegas Syaharani. Saat ini, 90% dari pendanaan iklim global dialokasikan untuk mitigasi meskipun ada proyeksi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim yang berpotensi mencapai USD 447 hingga USD 894 miliar per tahun pada tahun 2030.
Eka Melisa dari KEMITRAAN menyoroti bahwa sebagian besar pendanaan iklim yang diusulkan untuk negara-negara berkembang datang dalam bentuk pinjaman lunak. “Indonesia harus mengadvokasi indikator-indikator pendanaan yang berkelanjutan untuk menghindari memperburuk ketimpangan atau meningkatkan utang nasional,” ujarnya.
Direktur Nusantara Fund Ode Rakhman menggarisbawahi efektivitas mekanisme pendanaan langsung untuk mendukung masyarakat adat dan lokal. Sejak Januari 2024, Nusantara Fund telah mengalokasikan dana sebesar USD 950.000 untuk 157 inisiatif, dengan tambahan dana sebesar USD 600.000 untuk bulan November.
“Pendanaan iklim langsung memberdayakan masyarakat untuk menerapkan solusi berkelanjutan yang disesuaikan dengan ekosistem mereka yang unik,” kata Rakhman. Inisiatif-inisiatif ini memperkuat kesetaraan sosial dan ekonomi melalui kepemilikan dan pengelolaan sumber daya secara kolektif.
Para pemimpin masyarakat sipil menyerukan reformasi sistemik dalam arsitektur keuangan global untuk mengalihkan dana dari sektor-sektor beremisi tinggi ke alternatif yang lebih ramah lingkungan, sehingga kelompok-kelompok yang terpinggirkan seperti petani kecil, nelayan, dan masyarakat adat dapat memperoleh manfaat dari aksi iklim.
Seiring berjalannya COP29, sikap Indonesia mencerminkan tuntutan yang lebih luas akan pendekatan yang adil dan inklusif dalam mengatasi krisis iklim, terutama bagi mereka yang berada di garis depan dalam menghadapi dampaknya. (nsh)
Foto banner: Handout/Madani