Indonesia setuju pembentukan badan permanen masyarakat adat dan komunitas lokal di ajang keanekaragaman hayati global COP-16 CBD

Prof Gono Semiadi mewakili Delegasi Republik Indonesia menyampaikan persetujuan pemerintah atas compromised proposal text terkait SB8j yang disampaikan oleh perwakilan Brazil (source: www.cbd.int)

Jakarta-Dalam sebuah langkah bersejarah, Konferensi Para Pihak ke-16 Konvensi Keanekaragaman Hayati (COP-16 CBD) diakhiri dengan pembentukan Badan Anak Perusahaan untuk Pasal 8j (SB8j), sebuah lembaga permanen yang didedikasikan untuk mengakui kontribusi masyarakat adat dan lokal terhadap keanekaragaman hayati dunia, demikian disampaikan oleh koalisi masyarakat sipil Indonesia untuk COP-16 UN-CBD dalam sebuah pernyataan pada hari Minggu, 3 November.

Pembentukan SB8j, yang akan memberikan panduan penting dalam mengimplementasikan Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal (KM-GBF), menggarisbawahi pentingnya pengetahuan, inovasi, dan praktik-praktik masyarakat adat dalam pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan. Pasal 8j dari CBD secara luas menekankan pada penghormatan, perlindungan, dan promosi pengetahuan tradisional yang relevan dengan konservasi keanekaragaman hayati. Badan baru ini diharapkan dapat memberikan saran kepada negara-negara anggota mengenai tujuan ini, memastikan bahwa masyarakat adat dan lokal memainkan peran penting dalam memenuhi target keanekaragaman hayati.

Di antara negara-negara yang pada awalnya menentang pembentukan badan ini, Indonesia secara khusus membalikkan pendiriannya pada hari terakhir konferensi, dan menyatakan dukungannya. Lu’lu’ Agustiana, Analis Kebijakan Ahli Madya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyoroti komitmen Indonesia untuk mengakui masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari semua dokumen yang dikembangkan di bawah kerangka kerja CBD.

“Karena Indonesia mengakui kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal, Indonesia sekarang mendukung SB8j sebagai jalan untuk menghormati komitmen ini,” ujar Agustiana. Namun, ia menekankan pentingnya mekanisme yang transparan dan efektif untuk memastikan keberhasilan badan tersebut.

Pembentukan SB8j tidak terjadi dengan cepat. Negara-negara termasuk Rusia, India, Jepang, dan Yordania menyatakan keprihatinan mereka mengenai peran badan ini dibandingkan dengan badan CBD lainnya, potensi dampak finansial, dan pertanyaan-pertanyaan seputar kedaulatan negara dalam negosiasi CBD. Namun, pada jam-jam terakhir, konsensus dicapai pada kerangka kerja yang mengakomodasi berbagai perspektif sambil memprioritaskan hak-hak masyarakat adat dan keadilan lingkungan.

Keputusan tersebut memicu perayaan dan optimisme di antara para perwakilan masyarakat adat, yang telah berunjuk rasa selama konferensi berlangsung dengan seruan “Bertindaklah sekarang!” Bagi banyak orang, pembentukan SB8j melambangkan pengakuan yang sudah lama tertunda atas suara masyarakat adat dalam membentuk kebijakan keanekaragaman hayati.

Keputusan tersebut telah mendapatkan dukungan yang signifikan dari masyarakat sipil Indonesia, yang memandang hal ini sebagai langkah besar dalam melindungi hak-hak masyarakat adat. Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), menekankan bahwa dukungan Indonesia harus sejalan dengan strategi keanekaragaman hayati nasional, yaitu Strategi Keanekaragaman Hayati dan Rencana Aksi Indonesia (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP), yang diluncurkan pada bulan Agustus.

“Komitmen ini harus diwujudkan dalam bentuk perlindungan wilayah adat dan pelestarian keanekaragaman hayati,” ujar Kasmita. Para pemimpin masyarakat sipil lainnya, termasuk Ketua Auriga Nusantara Timer Manurung, juga menyerukan langkah-langkah praktis untuk memasukkan hak-hak masyarakat adat ke dalam kawasan dan kebijakan konservasi.

Syahrul Fitra dari Greenpeace Indonesia menyoroti kewajiban konstitusional Indonesia untuk menegakkan hak-hak masyarakat adat, sesuai dengan Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945, yang mengakui wilayah adat.

Meskipun pembentukan SB8j merupakan tonggak sejarah yang signifikan, para ahli menggarisbawahi perlunya kebijakan yang dapat ditindaklanjuti. Cindy Julianty, Manajer Program Kelompok Kerja Masyarakat Adat dan Komunitas Kawasan dan Wilayah Konservasi Indonesia (WGII), mencatat pentingnya pedoman yang jelas untuk menghitung kontribusi masyarakat adat terhadap target keanekaragaman hayati.

Bimantara Adjie dari Perkumpulan HuMa menekankan bahwa kemajuan dalam negeri, termasuk RUU Masyarakat Adat yang masih terhambat, sangat penting untuk merealisasikan komitmen ini. Adjie mengatakan, “Pemerintah Indonesia harus menyelaraskan kerangka kebijakannya dengan hak-hak masyarakat adat untuk menciptakan warisan yang langgeng.”

Seiring dengan pandangan Indonesia dan negara-negara anggota CBD lainnya terhadap masa depan, pembentukan SB8j diharapkan dapat beresonansi lebih dari sekedar keanekaragaman hayati, dan berpotensi mempengaruhi forum-forum global lainnya, termasuk Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Dengan mengakui masyarakat adat dan lokal sebagai penjaga keanekaragaman hayati, komunitas global mengambil langkah berani menuju masa depan yang berkelanjutan dan inklusif. (nsh)

Foto banner: Protes untuk dorong pengesahan SB8j. Photo by: Earth Negotiation Bulletin

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles